Perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang begitu masif memaksa negara-negara di dunia membuat regulasi dan membentuk badan pengawas karena bisa saja inovasi AI itu dibuat untuk mecelakai manusia.
Namun, pemerintah Indonesia menilai pembentukan badan pengawasan AI belum diperlukan.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menilai saat ini Indonesia belum membutuhkan badan yang mengawasi penggunaan AI karena AI merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang tak dapat dihindari.
“Tidak perlu ada (badan) pengawasan karena ya dia bagian dari tekonologi yang terus berkembang,” kata Nezar usai acara bedah buku di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Nezar mengatakan penggunaan AI bisa menguntungkan atau sebaliknya menjadi ancaman. Di satu sisi, AI banyak membantu pekerjaan yang tak mampu dilakukan manusia tetapi AI juga dapat menggantikan posisi manusia pada pekerjaan-pekerjaan tertentu.
“Misalnya saja sekarang konsultan komunikasi untuk membuat satu strategi matketing, AI bisa membantu,” ucap Nezar seperti dilansir Kompas.com.
Sejauh ini, kata Nezar, yang perlu diwaspadai dari penggunaan AI ialah sisi etika. Sebab, AI mungkin menimbulkan dampak negatif seperti plagiasi. Namun, dia menegaskan, AI adalah bagian dari ekosistem digital yang belum memerlukan badan pengawasan tersendiri.
“Yang kita pantau adalah sisi-sisi etisnya,” katanya.
Ketakutan Uni Eropa
Ilustrasi artificial intelligence
Mayoritas perusahaan mengkritisi dan menuliskan nota protes terhadap rancangan undang-undang (RUU) artificial intelligence (AI) di Uni Eropa karena dapat membahayakan daya saing dan kedaulatan teknologi Eropa.
Nota protes itu ditandatangani oleh Yann LeCun, yang bekerja di Meta termasuk para eksekutif perusahaan lainnya seperti perusahaan telekomunikasi Spanyol Cellnex, perusahaan perangkat lunak Perancis Mirakl, dan bank investasi Jerman Berenberg, demikian Reuters melaporkan.
Sebelumnya, anggota parlemen Uni Eropa menyetujui seperangkat aturan RUU AI. RUU itu mengharuskan sistem seperti ChatGPT mengungkapkan konten yang dihasilkan AI, membantu membedakan apa yang disebut gambar palsu dari yang asli, dan memastikan perlindungan terhadap konten ilegal.
Sejak ChatGPT menjadi populer, beberapa surat terbuka telah dikeluarkan untuk menyerukan regulasi AI dan meningkatkan "risiko kepunahan AI". Penandatangan surat sebelumnya termasuk Elon Musk, CEO OpenAI Sam Altman, dan Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio - dua dari tiga yang disebut "ayah baptis AI".
Cedric O, Mantan Menteri Digital Prancis menyatakan pihaknya membidik versi Parlemen Eropa karena mereka memutuskan untuk beralih dari pendekatan berbasis risiko ke pendekatan berbasis teknologi, yang tidak ada dalam teks awal.
RUU itu juga memperingatkan teknologi seperti AI generatif akan diatur secara ketat. Perusahaan yang mengembangkan sistem semacam itu juga akan menghadapi biaya kepatuhan yang tinggi dan risiko kewajiban yang tidak proporsional. Peraturan tersebut dapat menyebabkan perusahaan yang sangat inovatif memindahkan aktivitas mereka ke luar negeri dan investor menarik modal mereka dari pengembangan AI Eropa secara umum.