Find Us On Social Media :

Cegah Kerugian Rp216T, GSMA Berikan 3 Rekomendasi Pengembangan 5G

By Liana Threestayanti, Kamis, 9 November 2023 | 18:30 WIB

Peningkatan biaya spektrum frekuensi menjadi ancaman besar bagi operator seluler yang ingin berinvestasi pada infrastruktur 5G, menurut GSMA. (Ilustrasi jaringan 5G)

Peningkatan signifikan biaya spektrum frekuensi menjadi ancaman besar bagi operator seluler yang ingin berinvestasi pada infrastruktur digital 5G di Indonesia. Hal itu diungkap GSMA dalam GSMA Intelligence terbaru.

Masih dalam laporan yang sama, GSMA menyatakan bahwa rencana Pemerintah Indonesia untuk mendorong transformasi digital bisa terhambat, kecuali dilakukan peninjauan ulang terhadap penetapan harga spektrum seluler 5G. Hal tersebut disampaikan asosiasi industri seluler global itu berkaitan dengan rencana lelang spektrum frekuensi terbaru yang akan segera dilakukan Indonesia.

Analisis GSMA tersebut memperkirakan, dalam skenario paling buruk, sekitar sepertiga dari manfaat sosioekonomi 5G, atau sekitar Rp216 triliun, bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024-2030 jika harga pita spektrum baru masih mengikuti harga lama.

Laporan berjudul “Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia” yang diluncurkan hari ini tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari lima kali lipat di Indonesia. Peningkatan itu terjadi karena biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan. 

Sebaliknya, GSMA Intelligence menemukan bahwa pertumbuhan pendapatan industri tidak seiring dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler tapi terjadi penurunan sebesar 48% selama periode yang sama (dalam USD). Selain itu, biaya spektrum frekuensi yang disesuaikan setiap tahunnya terus meningkat dikarenakan inflasi.

Laporan tersebut menyebutkan, biaya yang berkaitan dengan spektrum frekuensi di Indonesia kini sudah tinggi. Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada angka 12,2%. Sementara rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. 

Dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menunjukkan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak. 

GSMA memperkirakan, jika pengurangan harga itu tidak dilakukan, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G. Pada gilirannya, kesulitan ini akan berdampak buruk, seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi yangmenggunakan teknologi 5G terbaru.

Untuk mencegah hal ini terjadi, laporan GSMA telah memberikan tiga rekomendasi penting untuk Pemerintah Indonesia, menjelang lelang spektrum frekuensi 5G mendatang:

1. Mengurangi harga tawar minimum

GSMA menyarankan penetapan harga tawar minimum yang lebih rendah untuk lelang pita spektrum frekuensi mendatang. Biaya spektrum frekuensi di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir dan hal ini menjadi ancaman besar bagi pengembangan layanan seluler masa depan. 

Dengan menurunkan harga tawar minimum, Pemerintah Indonesia dapat memberikan ruang untuk penetapan harga yang baru dan mengurangi risiko spektrum frekuensi yang tidak terjual. Apabila ada biaya atau kewajiban yang harus ditanggung, biaya tersebut harus diperhitungkan ke dalam harga tawar minimum dan biaya tahunan.