Dari penilaian itu, sekolah pun bisa meningkatkan kegiatan mengajar yang tercermin dari Arkas di tahun berikutnya. “Jadi seluruh sistem ini membentuk ekosistem yang iteratif yang setiap iterasi berikutnya akan lebih baik,” tambah Ghif.
Selain dirancang saling terhubung, pengembangan seluruh platform itu pun sejak awal berfokus pada pengguna, seperti guru. Tim GovTech Edu secara rutin turun ke lapangan untuk menemukan pain point dari aktivitas keseharian guru. “Dari proses discovery ini, kami baru mendesain produk teknologinya yang benar-benar sesuai dengan journey atau pain point yang dirasakan guru,” ungkap Ghif.
“Ini adalah tekad kami untuk mengubah IT as a service menjadi IT as a product,” ungkap Ghif. Artinya, layanan berbasis digital dibangun berdasarkan kebutuhan nyata pengguna; bukan cuma berdasarkan asumsi awal yang terla.
Memperluas Dampak
Setelah berjalan selama tiga tahun, inisiatif yang dilakukan GovTech Edu pun menampakkan hasil. Contohnya platform Arkas yang saat ini telah mengelola anggaran dengan nilai total Rp.56 triliun. Sementara Merdeka Mengajar telah digunakan 4,2 juta guru dengan 3 juta lebih adalah pengguna aktif. “Termasuk 80 ribu di antaranya adalah guru di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar, red),” tambah Ghif.
Sedangkan untuk Kampus Merdeka, sudah ada 1,5 juta mahasiswa yang mengikuti program ini. Keikutsertaan ini juga berimbas pada kecepatan mereka mendapatkan pekerjaan setelah lulus. “Data kami menunjukkan, peserta Kampus Merdeka itu 3-6 bulan lebih cepat terserap di dunia kerja,” tambah Ghif.
Saat ini ada sekitar 125 ribu komunitas yang mempertemukan guru-guru Indonesia untuk saling belajar dan bertukar pikiran
Pencapaian ini tentu saja menimbulkan optimisme Ghif dan tim untuk terus mengembangkan solusi berbasis digital. Saat ini, mereka sedang melakukan ujicoba fitur Asisten Guru (Aru) untuk Merdeka Mengajar. Aru adalah fitur berbasis Generative AI yang diposisikan sebagai teman diskusi guru. Mirip seperti ChatGPT, Aru bisa menjawab pertanyaan dari guru terkait topik atau metode pengajaran. “Namun secara engineering, kami telah menanamkan guard rail (batasan, red) untuk memastikan Aru menjawab hanya berdasarkan dokumen di Merdeka Mengajar,” ujar Ghif.
Dari sisi personal, Ghif juga memiliki mimpi untuk berkontribusi lebih besar ke negeri ini. “Saya bermimpi masyarakat Indonesia bisa merasakan kehidupan yang lebih baik melalui intervensi teknologi,” ungkap Ghif. Hal ini bisa dicapai ketika negara bisa menyediakan layanan publik yang menjawab pain point masyarakat di kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Ghif juga ingin bermimpi dapat mewujudkan sistem kerja dual mode, ketika 20% waktu dapat didedikasikan untuk belajar sesuatu yang baru. “Waktu itu digunakan untuk mengeksplorasi emerging technology di fase awal sehingga kita tidak ketinggalan,” tambah Ghif yang memimpin sekitar 250 software engineer di GovTech Edu tersebut.
“Namun tentu saja, hal itu baru bisa dilakukan ketika kita sudah menyelesaikan “utang” pekerjaan di masa lampau,” ungkap Ghif.
Semoga saja, momentum yang diciptakan GovTech Edu dapat menciptakan momentum pembangunan layanan publik yang lebih baik.