Find Us On Social Media :

Begini Cara IBM Power Dukung Modernisasi Aplikasi yang Lebih Efisien

By Liana Threestayanti, Senin, 30 September 2024 | 19:30 WIB

Di era transformasi digital yang semakin cepat, modernisasi aplikasi adalah salah kunci bagi perusahaan untuk bersaing dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Salah satu solusi yang dapat mendukung proses ini adalah teknologi IBM Power. (Foto: Naldi Attamimi, Partner Technical Specialist for IBM Power, IBM Indonesia)

Di era transformasi digital yang semakin cepat, modernisasi aplikasi adalah salah kunci bagi perusahaan untuk bersaing dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Salah satu solusi yang dapat mendukung proses ini adalah teknologi IBM Power.

Hal ini menjadi topik yang diulas dalam acara InfoKomputer Innovate yang berjudul “Accelerating Digital Transformation: Modernizing Applications with IBM Infrastructure,” yang berlangsung di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Modernisasi Aplikasi dan Arsitektur Microservices

Naldi Attamimi, Partner Technical Specialist for IBM Power, IBM Indonesia, menjelaskan bahwa modernisasi aplikasi merupakan bagian dari upaya modernisasi operasional secara keseluruhan yang juga mencakupkan modernisasi platform, proses, dan insight. Modernisasi operasional ini bertujuan, antara lain, mempercepat time-to-market dan mengadopsi praktik-praktik modern seperti DevOps. 

Dalam konteks ini, arsitektur aplikasi yang sering diasosiasikan dengan modernisasi aplikasi adalah microservices. Naldi membeberkan beberapa keunggulan arsitektur microservices dan penggunaan kontainer jika dibandingkan dengan pendekatan monolitik yang dianggap bersifat lebih tradisional. 

“Aplikasi monolitik ibarat sebuah kotak besar yang menjalankan banyak fungsi dalam satu kesatuan,” jelas Naldi di acara yang diadakan InfoKomputer bersama IBM Indonesia dan PT Multipolar Technology Tbk. Wahasil, ketika ada perubahan atau penambahan fungsi, seluruh aplikasi harus diubah dan diuji kembali, yang bisa memakan waktu dan sumber daya. 

“Di sisi lain, dalam arsitektur microservices, aplikasi dipecah menjadi boks-boks kecil yang masing-masing menjalankan fungsi atau layanan sesuai dengan kebutuhannya,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, setiap boks dapat dimodifikasi atau diperbarui secara independen tanpa memengaruhi fungsi lainnya. Hal ini memungkinkan pengembang untuk lebih cepat melakukan perubahan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi risiko saat memperbarui aplikasi.

Keunggulan lain arsitektur microservices adalah scaling yang efisien. Naldi menjelaskan, ketika adalah kebutuhan menambah fungsi tertentu dalam aplikasi besar, scaling hanya dilakukan pada layanan spesifik, bukan pada seluruh infrastruktur. “Ini akan menghemat sumber daya,” tandasnya. 

Selain itu, dengan pendekatan microservices, tim pengembang dapat menggunakan berbagai bahasa pemrograman sesuai kebutuhan layanan masing-masing sehingga memberikan fleksibilitas yang lebih besar. “Misalnya, front-end dapat menggunakan .NET, sementara back-end dapat menggunakan Java,” Naldi mencontohkan.

Arsitektur microservices juga memungkinkan komponen-komponennya diuji secara independen sehingga pengujian dan rilis fitur baru dapat dilakukan dengan lebih cepat. “Sekarang, cukup dengan melakukan testing di spesifik services tersebut tidak perlu ada implikasi terhadap layanan-layanan yang lainnya,” jelas Naldi.

Di sisi pengembang atau developer, arsitektur microservices memungkinkan pengembang bekerja secara paralel pada fungsi-fungsi spesifik, tanpa harus menunggu satu sama lain. “Di mana hal ini akan mempercepat time to market dan juga mempersingkat siklus pengembangan (development cycle), karena karena setiap tim dapat fokus pada layanan yang mereka kelola,” ujarnya.

Seiring dengan pesatnya perkembangan arsitektur microservices yang memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam pengembangan aplikasi, teknologi seperti IBM Power dan Red Hat OpenShift menjadi kunci dalam mempercepat proses transformasi digital.

Gabungkan Kekuatan Red Hat OpenShift & IBM Power

Berdasarkan survei IDC dan Forrester, pengguna Red Hat OpenShift mendapatkan pengembalian investasi (ROI) sebesar 168% dalam 3 tahun dibandingkan saat masih menggunakan aplikasi monolitik. 

“Mengapa? Salah satu faktornya adalah siklus pengembangan yang lebih singkat karena bisa dijalankan secara paralel. Aplikasi, produk, layanan yang dihasilkan bisa lebih cepat dibanding kalau misalnya harus menunggu pembuatan aplikasi yang panjang atau yang dilakukan secara parsial,” jelas Naldi Attamimi.

Dari perspektif IBM, menurut Naldi, penggunaan IBM Power bersama Red Hat OpenShift menghasilkan pengurangan biaya hardware hingga 44%, peningkatan kinerja workload 2-10 kali lebih cepat, serta pengurangan biaya lisensi karena kebutuhan node atau infrastruktur yang lebih sedikit dibandingkan misalnya dengan platform x86.

Bagaimana IBM Power dapat memberikan kinerja, efisiensi, dan biaya yang lebih baik dalam menjalankan Red Hat OpenShift? Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Naldi Attamimi di acara InfoKomputer Innovate.

Pertama adalah kinerja prosesor. IBM Power ditenagai oleh prosesor Power yang memiliki keunggulan hyper-threading hingga 8 lajur sehingga memberikan throughput yang lebih tinggi untuk komputasi OpenShift, dan pada gilirannya meningkatkan performa hingga 4 kali lipat.

Node di server IBM Power juga dirancang untuk memaksimalkan efisiensi sumber daya, termasuk CPU, memori, dan I/O. Node ini dapat menangani beban kerja berat dengan lebih sedikit perangkat keras dibandingkan platform lain seperti x86, sehingga mengurangi biaya dan konsumsi energi.

“Dan ini mungkin salah satu poin yang kurang atau belum terlalu dieksplorasi, belum terlalu dilihat oleh banyak perusahaan di Indonesia, yaitu carbon footprint,” kata Naldi.   

Selain itu, IBM Power juga membekal bandwidth besar dan dukungan virtualisasi bawaan (PowerVM), yang mengurangi latensi dan meningkatkan throughput, serta memungkinkan aplikasi berjalan lebih optimal dalam satu server.

Naldi juga mengungkapkan bahwa server Power menjamin utilisasi hingga 80% karena efisiensi virtualisasi pada level firmware. Dengan cara ini, overhead atau beban tambahan yang terjadi saat menjalankan virtualisasi menjadi lebih kecil dibandingkan ketika virtualisasi berjalan di lapisan perangkat lunak.

Uji Benchmark Buktikan Efisiensi, Performa, dan Ketersediaan Tinggi

Selanjutnya Naldi juga membeberkan tes benchmark yang  menunjukkan bahwa mesin Power menghasilkan TPS (Transaction per Second) yang lebih tinggi dengan jumlah core lebih sedikit dibandingkan platform lainnya.

Uji benchmark oleh Tim IBM Power Worldwide ini dilakukan dengan menjalankan aplikasi aplikasi day trader di platform Red Hat OpenShift. Platform lain dengan 80 core menghasilkan 42.256 transaksi per detik (TPS). Sementara mesin IBM Power S1022 dengan 40 core mampu mencapai 76.763 TPS. “Ini menunjukkan efisiensi mesin Power meskipun memiliki core lebih sedikit,” jelas Naldi. 

Ia menambahkan mesin Power juga memberikan penghematan biaya operasional sebesar 70% selama tiga tahun dan biaya per TPS yang lebih rendah. 

Selain itu, IBM Power juga menawarkan tingkat ketersediaan tinggi dan waktu downtime rendah, menjadikannya pilihan andal untuk layanan yang diperlukan. “IBM Server yaitu Power dan ‘kakaknya’ yaitu IBM Mainframe selama 15 tahun berturut-turut berada di peringkat 1 dan 2, berdasarkan riset yang dilakukan oleh ITIC. Unplanned downtime per tahunnya itu untuk IBM Power adalah 315 millisecond,” pungkas Naldi.

Teknologi IBM Power dan arsitektur microservices menawarkan solusi efisien untuk modernisasi aplikasi, yang pada gilirannya mempercepat transformasi digital dan mempersiapkan perusahaan untuk bersaing di pasar yang semakin dinamis.

Baca juga: Begini Cara Solusi Event Automation Bantu Perusahaan Manfaatkan Data

Baca juga: IBM Berikan Pelatihan AI Gratis ke Generasi Muda Indonesia