Teknologi cloud dan artificial intelligence (AI) kini menjadi kunci transformasi bisnis, mendorong inovasi dan efisiensi. Bagaimana keduanya membentuk masa depan perusahaan? Apa strategi penting bagi pemimpin bisnis untuk memaksimalkan potensi dua teknologi tersebut?
Gartner memprediksi pengeluaran global untuk layanan public cloud akan meningkat dari $679 miliar pada tahun 2024 menjadi US$1 triliun pada tahun 2027. Sementara menurut survei Statista 2023, sebanyak 90% enterprise berskala besar telah mengadopsi multi-cloud. Pada saat yang sama, pasar hybrid cloud global juga diprediksi Statista akan tumbuh secara signifikan dan diperkirakan akan mencapai $262 miliar pada tahun 2027 dengan CAGR sebesar 20.6%.
Di sisi lain, Gartner memperkirakan pasar AI global akan tumbuh dari US$184 miliar pada tahun 2024 menjadi US$407 miliar pada 2027. Statista juga memberikan prediksi bahwa pasar AI akan mencapai nilai US$826,7 miliar pada tahun 2030 karena tingkat pertumbuhan tahunannya (CAGR) diperkirakan mencapai 28,46%.
Tantangan People dan Middle Management
Dalam sesi wawancara khusus dengan InfoKomputer beberapa waktu lalu, terkait adopsi AI di sektor enterprise, Miriam McLemore, Director, Enterprise Strategy, Amazon Web Services (AWS) menyampaikan bahwa para eksekutif sedang berusaha memahami AI dan menentukan langkah-langkah untuk mengikuti perkembangan teknologi ini. “Haruskah kita melakukan sesuatu? Apakah kita tertinggal? Apa yang harus kita lakukan?" ujar Miriam seraya menambahkan bahwa para pemimpin bisnis sedang mencari panduan untuk memulai implementasi AI.
Sebagai informasi, dalam perannya sebagai Enterprise Strategist, mantan Corporate CIO The Coca Cola Company ini kerap bertemu dengan para eksekutif C-suite dari berbagai industri, dan membantu perusahaan dalam mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk mengatasi berbagai tantangannya.
Salah satu tantangan yang sering dijumpai Miriam adalah orang atau people. Menurutnya, terutama di perusahaan-perusahaan berskala besar, para eksekutif dan karyawannya yang berusia relatif muda sangat antusias untuk mengadopsi AI dan maju ke depan.
“Seringkali problemnya ada di jajaran middle management,” ungkap lulusan University of North Carolina, Chapel Hill, AS ini. Kekhawatiran para manajer di level menengah ini adalah bagaimana AI akan memengaruhi peran mereka atau mengganggu proses yang sudah ada. Kekhawatiran yang dikenal sebagai "FUD" (fear, uncertainty, and doubt) ini disebut Miriam McLemore berpotensi memperlambat adopsi teknologi baru.
Oleh karena itu, menurutnya, pelatihan dan menyelesaikan persoalan technical debt adalah penting untuk kelancaran adopsi AI. Pelatihan dapat membantu mengatasi resistensi, terutama dari jajaran middle management, dan memastikan seluruh organisasi mendukung adopsi AI. Miriam juga menekankan pentingnya pelatihan literasi digital bagi para developer maupun profesional di level menengah dalam rangka menjembatani kesenjangan dalam memahami AI.
Miriam dan timnya juga membantu perusahaan-perusahaan dalam mengatasi persoalan sistem-sistem yang sudah usang dan technical debt. Salah satu solusi yang disebutnya dapat “menanggulangi beban kerja TI yang tidak krusial bagi bisnis” adalah cloud. “Sehingga perusahaan dapat membebaskan sumber daya untuk berinovasi dengan AI,” imbuhnya.
Selanjutnya, Miriam McLemore juga menyoroti kekhawatiran para pemimpin organisasi mengenai keamanan dan privasi data dalam mengadopsi AI maupun cloud. “Jika Anda adalah pemimpin bisnis, Anda tentu tidak ingin data perusahaan Anda sampai ke domain kompetitor, karena itu adalah data pelanggan atau konsumen Anda. Dari sudut pandang privasi, mereka bertanggung jawab,” ujarnya.
Sementara AWS sendiri menerapkan prinsip “security is job zero,” yang artinya pertimbangan keamanan adalah prioritas utama AWS ketika mengembangkan solusi dan layanan. Miriam menegaskan bahwa fokus AWS adalah membantu pelanggan mengelola data secara bertanggung jawab, bukan sekadar jualan tool AI. “Data adalah sepenuhnya milik pelanggan,” tegasnya.