Find Us On Social Media :

Peran CIO di Era Berkelanjutan: Mengatasi Tantangan ESG yang Kompleks

By Wisnu Nugroho, Senin, 28 Oktober 2024 | 09:19 WIB

Arun Biswas (Managing Partner, Strategic Sales & Sustainability Consulting IBM Asia-Pacific)

Saat ini setiap perusahaan dituntut memberikan kontribusi dalam mencapai target global di area ESG (Environmental, Social, and Governance). Sekilas, tuntutan ini menjadi beban tambahan bagi manajemen perusahaan, termasuk CIO. 

Namun jika ditilik lebih dalam, tujuan keberlanjutan ini sebenarnya selaras dengan tujuan bisnis. Jika kita dapat menyandingkan keduanya, perusahaan pun dapat mencapai tujuan bisnis sekaligus berkontribusi untuk keberlanjutan di masa depan.

Hal itulah yang dapat disimpulkan dari pembicaraan eksklusif InfoKomputer dengan Arun Biswas (Managing Partner, Strategic Sales & Sustainability Consulting IBM Asia-Pacific). Arun sendiri adalah praktisi teknologi selama 25 tahun yang mencurahkan lima tahun terakhir untuk mendalami pendekatan teknologi dalam menjawab isu ESG. “Saat ini fokus saya adalah membantu klien IBM mencapai tujuan bisnis maupun ESG mereka,” tambah Arun.

Berikut adalah rangkuman wawancara InfoKomputer dengan Arun secara online. Wawancara lebih utuh bisa disimak di video Youtube berikut.

 Lima Tantangan CIO terkait Sustainability

Menurut Arun, saat ini setidaknya ada lima tantangan utama yang harus dijawab CIO. “Tantangan pertama adalah CIO dituntut untuk mengurangi jejak karbon dan lingkungan dari kegiatan digital perusahaan,” ungkap Arun. Tantangan kedua, CIO juga diharapkan mengelola sustainability data yang memudahkan pengukuran dampak lingkungan dari kegiatan perusahaan. 

Tiga tantangan lain adalah membangun business case yang sesuai, kelangkaan talenta terkait keberlanjutan, serta pentingnya kolaborasi dengan manajemen lain.

Dalam konteks pengurangan jejak karbon dari infrastruktur digital, CIO harus melakukannya di saat kebutuhan akan sumber daya terus meningkat. “Saat ini, emisi karbon data center sekitar 2% dari total emisi global. Tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil juga,” ungkap Arun. 

Masalahnya, angka ini belum menggambarkan fenomena yang lebih mengkhawatirkan, yaitu peningkatan drastis emisi karbon dari infrastruktur digital. Apalagi di era AI seperti saat ini, ketika algoritma AI membutuhkan komputasi yang jauh lebih intensif.

Untuk mengurangi jejak karbon dari infrastruktur digital, Arun pun memberikan rekomendasi. Hal mendasar yang bisa dilakukan adalah melakukan assessment komprehensif terhadap infrastruktur digital yang dimiliki. “IBM sendiri telah membuktikan, emisi karbon akan otomatis turun ketika perusahaan beralih dari infrastruktur on-premise menjadi hybrid cloud,” ungkap Arun. Hal ini karena hybrid cloud memungkinkan sebagian infrastruktur digunakan bersama dengan pihak lain. Selain itu, data center modern juga dapat mengelola konsumsi listrik dan air dengan lebih baik. 

Sedangkan di area AI, jejak karbon bisa dikelola dengan mengubah pola pikir penggunaan AI. Contohnya jika selama ini kita menggunakan large model AI, ke depan kita dapat menggunakan model yang lebih kecil. “Karena tidak semua perusahaan membutuhkan model AI yang besar,” tambah Arun. Efisiensi juga bisa dilakukan dengan mencari algoritma AI yang lebih baik. “Algoritma yang ada selama ini, seperti Transformer [yang digunakan di LLM, Red], mungkin cocok untuk satu tujuan, namun tidak untuk tujuan lain,” ungkap pria yang mendapatkan Master in Sustainability Leadership di University of Cambridge tersebut.