Saat ini setiap perusahaan dituntut memberikan kontribusi dalam mencapai target global di area ESG (Environmental, Social, and Governance). Sekilas, tuntutan ini menjadi beban tambahan bagi manajemen perusahaan, termasuk CIO.
Namun jika ditilik lebih dalam, tujuan keberlanjutan ini sebenarnya selaras dengan tujuan bisnis. Jika kita dapat menyandingkan keduanya, perusahaan pun dapat mencapai tujuan bisnis sekaligus berkontribusi untuk keberlanjutan di masa depan.
Hal itulah yang dapat disimpulkan dari pembicaraan eksklusif InfoKomputer dengan Arun Biswas (Managing Partner, Strategic Sales & Sustainability Consulting IBM Asia-Pacific). Arun sendiri adalah praktisi teknologi selama 25 tahun yang mencurahkan lima tahun terakhir untuk mendalami pendekatan teknologi dalam menjawab isu ESG. “Saat ini fokus saya adalah membantu klien IBM mencapai tujuan bisnis maupun ESG mereka,” tambah Arun.
Berikut adalah rangkuman wawancara InfoKomputer dengan Arun secara online. Wawancara lebih utuh bisa disimak di video Youtube berikut.
Lima Tantangan CIO terkait Sustainability
Menurut Arun, saat ini setidaknya ada lima tantangan utama yang harus dijawab CIO. “Tantangan pertama adalah CIO dituntut untuk mengurangi jejak karbon dan lingkungan dari kegiatan digital perusahaan,” ungkap Arun. Tantangan kedua, CIO juga diharapkan mengelola sustainability data yang memudahkan pengukuran dampak lingkungan dari kegiatan perusahaan.
Tiga tantangan lain adalah membangun business case yang sesuai, kelangkaan talenta terkait keberlanjutan, serta pentingnya kolaborasi dengan manajemen lain.
Dalam konteks pengurangan jejak karbon dari infrastruktur digital, CIO harus melakukannya di saat kebutuhan akan sumber daya terus meningkat. “Saat ini, emisi karbon data center sekitar 2% dari total emisi global. Tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil juga,” ungkap Arun.
Masalahnya, angka ini belum menggambarkan fenomena yang lebih mengkhawatirkan, yaitu peningkatan drastis emisi karbon dari infrastruktur digital. Apalagi di era AI seperti saat ini, ketika algoritma AI membutuhkan komputasi yang jauh lebih intensif.
Untuk mengurangi jejak karbon dari infrastruktur digital, Arun pun memberikan rekomendasi. Hal mendasar yang bisa dilakukan adalah melakukan assessment komprehensif terhadap infrastruktur digital yang dimiliki. “IBM sendiri telah membuktikan, emisi karbon akan otomatis turun ketika perusahaan beralih dari infrastruktur on-premise menjadi hybrid cloud,” ungkap Arun. Hal ini karena hybrid cloud memungkinkan sebagian infrastruktur digunakan bersama dengan pihak lain. Selain itu, data center modern juga dapat mengelola konsumsi listrik dan air dengan lebih baik.
Sedangkan di area AI, jejak karbon bisa dikelola dengan mengubah pola pikir penggunaan AI. Contohnya jika selama ini kita menggunakan large model AI, ke depan kita dapat menggunakan model yang lebih kecil. “Karena tidak semua perusahaan membutuhkan model AI yang besar,” tambah Arun. Efisiensi juga bisa dilakukan dengan mencari algoritma AI yang lebih baik. “Algoritma yang ada selama ini, seperti Transformer [yang digunakan di LLM, Red], mungkin cocok untuk satu tujuan, namun tidak untuk tujuan lain,” ungkap pria yang mendapatkan Master in Sustainability Leadership di University of Cambridge tersebut.
Sedangkan di aspek sustainability data, tantangan CIO adalah mengumpulkan data yang kompleks dan tersebar di berbagai titik. “Data ini tidak cuma berada di internal perusahaan, namun juga di seluruh value chain. Hal ini yang membuat sustainability data menjadi sangat kompleks,” tambah Arun.
Terkait data, Arun melihat pentingnya perusahaan memiliki sistem untuk mengumpulkan data. “Contohnya pelaku industri manufaktur membutuhkan sensor untuk mengumpulkan data konsumsi atau emisi dari keseluruhan proses bisnis,” ungkap Arun. Perusahaan juga membutuhkan multimodel data (seperti data satelit atau geospasial) agar dapat mendapatkan sustainability data yang komprehensif.
Arun pun melihat pentingnya seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama mewujudkan sistem pengumpulan data yang sistematis. “Karena tidak mungkin sebuah perusahaan sendirian mengumpulkan data dari ratusan supplier dan ribuan customer,” ungkap Arun. Harus ada sistem data terbuka yang dapat digunakan pelaku industri untuk berkolaborasi mengelola sustainability data. “Saya percaya, pemerintah dapat mengambil peran penting di inisiatif seperti ini,” ungkap Arun.
Manfaat yang Didapat dari Inisiatif Keberlanjutan
Sekilas, usaha terkait keberlanjutan menjadi beban tambahan bagi perusahaan. Akan tetapi, Arun menepis anggapan tersebut. Seperti saat menempatkan lebih banyak sensor di mesin produksi, perusahaan sebenarnya mendapatkan manfaat bisnis selain mendapatkan sustainability data. “Perusahaan akan mendapati biaya untuk mendapatkan data tersebut sepadan dengan manfaat bisnis yang didapat,” ungkap Arun mencontohkan.
Dengan kata lain, kunci sukses inisiatif keberlanjutan adalah dengan menyandingkan tujuan keberlanjutan tersebut dengan manfaat bisnis. “Jadi jangan melihat inisiatif keberlanjutan sebagai sebuah usaha yang berdiri sendiri. Tempatkan inisiatif berkelanjutan tersebut bersama dengan tujuan bisnis,” tambah Arun.
Arun mencontohkan bagaimana IBM membantu perusahaan minuman di Singapura yang sedang memperbarui platform ERP-nya agar dapat mencapai tujuan bisnis dan keberlanjutan secara bersamaan. Memanfaatkan platform data yang komprehensif, perusahaan tersebut berhasil mengurangi stok minuman kadaluarsa yang berada di pasaran. “Dan itu berarti mengurangi energi, material, dan jejak karbon,” ungkap Arun.
Contoh lain adalah perusahaan transportasi kereta api di Australia yang menggunakan IBM Maximo untuk mengelola aset. Memanfaatkan teknologi AI, perusahaan tersebut berhasil melakukan predictive maintenance yang berujung pada peningkatan usia kereta dan efisiensi operasional. Yang tak kalah penting, inisiatif ini juga meningkatkan service level yang berujung pada peningkatan kepuasan pelanggan.
“Jadi kita sebenarnya bisa mencapai tujuan bisnis dan keberlanjutan secara bersamaan,” tambah Arun.