Pada bulan Agustus dan September 2018 yang lalu, Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga se-Asia, Asian Games, dengan sukses. Gelaran ini kemudian diikuti dengan Asian Para Games, yaitu pesta olahraga bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau difabel.
Kemajuan teknologi turut memberi sumbangsih berupa berbagai peralatan yang digunakan oleh para atlet difabel tersebut. Biasanya, jika berbagai peralatan berteknologi tinggi yang digunakan pada perlombaan atlet difabel memberikan hasil yang baik, peralatan teknologi tersebut akan dikembangkan pula untuk penggunaan sehari-hari para difabel, baik atlet maupun bukan.
Namun teknologi yang digunakan untuk memudahkan hidup para difabel tidak selalu datang dari dunia olahraga. Ada banyak penelitian yang dilakukan berbagai perusahaan teknologi untuk selalu membuat peralatan yang bisa memudahkan hidup para difabel.
Untuk saat ini, setidaknya sudah ada beberapa teknologi yang bisa dinikmati oleh para difabel supaya hidupnya lebih mudah dan nyaman. Inilah dia. (Yahya Kurniawan)
Kursi Roda iBot
Kursi roda sudah lama sudah menjadi alat bantu bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka yang lumpuh atau tidak memiliki kaki. Namun kursi roda biasa memiliki cukup banyak keterbatasan, misalnya hanya nyaman digunakan di tempat yang datar. Saat harus menaiki tangga, pengguna kursi roda tetap akan mengalami berbagai kesulitan.
Dean Kamen, seorang peneliti dan penemu yang menciptakan Segway, mengembangkan sebuah kursi roda yang dapat memanjat tangga dan diberi nama iBot. Karena memiliki kemampuan memanjat tangga, iBot haruslah seimbang. Keseimbangan iBot ini tentu saja dikembangkan dari keseimbangan yang ada pada Segway. Namun sayang sekali, sampai saat ini iBot belum diproduksi secara masal.
Lengan Robot DEKA
Lengan robotik yang fungsional lagi-lagi merupakan hasil dari Dean Kamen dan timnya. Dalam pengembangan lengan robot yang diberi nama DEKA ini, Dean Kamen mendapatkan dana dari DARPA, bagian dari Departeman Pertahanan Amerika Serikat
Lengan robot DEKA bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan penggunanya, serta terdiri dari beberapa modul. Alhasil, DEKA dapat disesuaikan dengan keadaan penggunanya, apakah dia hanya membutuhkan tangan, membutuhkan tangan dan lengan, bahkan sampai ke pundak.
Lengan robot ini memiliki banyak sensor untuk mengatur feedback yang akan diberikan padanya. Dengan adanya sensor itu, DEKA dapat menyesuaikan kuatnya genggaman sesuai “permintaan” pengguna.
Kaki Robotic BiOM
Alat robotik yang tersedia untuk para difabel bukan hanya tangan, melainkan juga kaki. Kali ini bukan dari Dean Kamen, melainkan Hugh Herr, seorang difabel yang kehilangan kedua kakinya karena kecelakaan.
Tidak berputus asa, Hugh Herr justru mengembangkan sebuah kaki palsu yang terdiri dari kombinasi logam, kayu, dan karet. Motivasi awalnya sebenarnya “sederhana”, supaya dia bisa melakukan hobinya memanjat tebing lagi.
Kini kaki robotik bernama BiOM tersebut sudah jauh lebih canggih lagi. BiOM memiliki sensor robotik yang bisa mereplikasi otot-otot kaki, serta memiliki sistem mekanis yang membuat pengguna bisa berjalan seperti layaknya menggunakan kaki sebenarnya.
Implan Koklea
Mereka yang memiliki disabilitas dalam wujud tunarungu pastilah akan sangat terbantu dengan implan Koklea ini. Implan Koklea bukanlah alat bantu dengar biasa yang digunakan seperti menggunakan earphone, melainkan “ditanam” di dalam telinga penggunanya.
Fungsi implan Koklea bukan sekadar memperkuat suara supaya bisa didengarkan oleh mereka yang lemah pendengarannya. Perangkat ini benar-benar menggantikan fungsi koklea di telinga bagian dalam.
Suara yang ada di sekitar pengguna ditangkap menggunakan satu mikrofon atau lebih, kemudian diubah menjadi sinyal digital dan dihantarkan ke implan Koklea. Implan inilah yang akan merangsang sistem saraf pendengaran hingga sampai ke otak dan diterima sebagai suara.
Kacamata OxSight
Jika berbicara tentang kacamata augmented reality, masih banyak orang yang mengaitkannya dengan game. Namun kacamata augmented reality ternyata juga bisa membantu mereka yang memiliki penglihatan kurang baik (low vision) atau bahkan tunanetra. Salah satunya adalah OxSight.
OxSight memang memiliki cara kerja mirip dengan augmented reality kebanyakan. OxSight menggunakan sistem kamera yang unik dan hasil tangkapannya diolah dengan algoritme khusus untuk mendeteksi dan memperjelas objek atau benda, dan memisahkannya dari latar belakang.
Saat ini ukuran dan bentuk OxSight masih cukup mencolok. Namun pengembangnya terus berusaha memperbaharuinya agar lebih pantas untuk digunakan sehari-hari.
Penulis | : | Dayu Akbar |
Editor | : | Dayu Akbar |
KOMENTAR