Apa lagi setelah transformasi digital? Berbekal data, wawasan, dan teknologi-teknologi terkini, misalnya AI dan IoT, sebuah organisasi dapat menjelma menjadi sebuah intelligent enterprise. Bagaimana caranya?
Mungkin kita bisa belajar dari JG Summit, salah satu konglomerat terbesar di Filipina. Perusahaan ini memiliki ratusan anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang usaha. Di antaranya ada Cebu Air Inc. yang mengoperasikan maskapai penerbangan Cebu Pacific, dan Universal Robina yang bergerak di bidang produksi makanan dan minuman.
“Aneka produk kami dinikmati oleh sembilan puluh persen dari seratusan juga penduduk Filipina,” Carlos G. Santos, Chief Information Officer mengilustrasikan betapa besar pasar yang dikuasai oleh perusahaan yang didirikan oleh John Gokongwei Jr. ini.
Skala yang besar dan ragam usaha ini pula yang menjadi tantangan bagi JG Summit dalam proses transformasi menjadi intelligent enterprise. Menurut Carlos, tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan adalah bagaimana menggerakkan ‘kapal besar’ ini secara serentak menuju satu tujuan yang sama, yakni menjadi perusahaan yang cerdas.
“Kami melakukannya dengan tiga enabler,” cerita Carlos. Enabler pertama adalah dukungan penuh dari manajemen puncak, termasuk CEO, bukan hanya di tingkat General Manager. “Dalam enam bulan terakhir, CEO kami selalu menekankan bahwa JG Summit akan menjadi konglomerat digital terdepan di Filipina, dan itu adalah pernyataan resmi pertama yang ia sampaikan,” papar Carlos tentang komitmen jajaran puncak manajemen.
Namun dukungan saja tidak cukup. Menurut Carlos, harus ada support structure. JG Summit mewujudkannya dalam bentuk digital transformation office yang diketuai langsung oleh sang CEO dan beranggotakan perwakilan dari tiap unit bisnis.
Enabler kedua berada di tangan tim TI. “Sebagai CIO, saya harus menggunakan framework tertentu untuk menyatukan berbagai hal dan bergerak secara bersamaan di jalur dan menuju arah yang sama,” jelas Carlos. Framework tersebut mencakup elemen operasional internal, karyawan, pelanggan, dan konsumen, dengan analytics di pusatnya.
Carlos menyarankan agar organisasi memiliki framework semacam ini untuk memudahkan proses mapping kebutuhan setiap elemen dan memandu transformasi pada empat elemen tadi. “Ada perusahaan yang membuat kesalahan dengan, misalnya, hanya memfokuskan pada sisi konsumen dan mengabaikan sisi karyawan,” ujarnya.
Dengan framework ini, perusahaan dapat melakukan mapping sehingga ketika terlalu berat ke sisi konsumen, perusahaan harus menyeimbangkan ke sisi yang lain. “Kalau Anda tidak menyeimbangakannya, artinya Anda belum melayani tiap elemen dalam ekosistem,” imbuh Carlos.
Dan enabler ketiga adalah kemitraan dengan penyedia solusi yang tepat untuk mengatasi masalah dengan tepat. “Itulah tiga enabler kami: key leadership yang dimulai dari CEO, framework untuk menyatukan berbagai elemen yang harus kami layani, dan bermitra dengan penyedia solusi yang tepat untuk mendorong transformasi digital dan intelligent enterprise,” pungkas Carlos G. Santos.
Konsep Intelligent Enterprise diusung oleh SAP dan ditopang oleh tiga pilar:
Intelligent Suite, yaitu sejumlah aplikasi cerdas dan terintegrasi yang mengotomatisasi proses bisnis dan berinteraksi dengan pelanggan, supplier, maupun karyawan untuk menciptakan nilai bisnis.
Digital Platform, berupa platform cloud dan data management yang bertugas mengumpulkan, mengkoneksikan, dan mengorkestrasi data dari berbagai sumber. Data-data tersebut diumpankan dan diproses oleh Intelligent Suite untuk menghasilkan intelligence dan inovasi.
Intelligent Technologies, yaitu teknologi cerdas, seperti AI, machine learning, IoT, dan analytics, yang tertanam pada aplikasi-aplikasi Intelligent Suite yang menjalankan core process pelanggan.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR