Pemerintah sedang getol mengumpulkan pendapatan negara dari sektor pajak tak terkecuali sektor digital.
Pemerintah resmi mengeluarkan aturan pajak bisnis jual beli daring (online) atau e-commerce yang mulai berlaku pada 1 April 2019. Peraturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menilai bahwa adanya PMK 210 itu justru akan mengancam platform e-commerce lokal karena para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) akan lebih memilih berjualan dagangannya di media sosial.
"Dari studi idEA menemukan bahwa 95 persen pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sisial. Dan hanya 19 persen yang sudah menggunakan platform marketplace," kata Untung di Jakarta.
"Seharusnya yang dikejar (pajak) adalah yang 95 persen (yang berjualan di media sosial)," kata Ketua Umum idEA Ignatius Untung di kantornya, Jakarta, Senin (14/1).
Ignatius mengatakan pemberlakuan regulasi PMK 210 akan mendorong pedagang untuk beralih berdagang melalui media sosial yang minim kontrol sehingga akan menyisakan banyak masalah termasuk penipuan.
"Tanpa pemberlakuan PMK 210 pun platform marketplace sudah harus berjuang keras untuk bersaing di tengah perlakuan yang tidak sama dengan media sosial yang notabennya minim kepatuhan," katanya.
Jika, kondisi itu terus berlanjut, maka plaform e-commerce lokal akan kalah bersaing.
"Kalah bersaing karena kalah strategi, itu sudah menjadi risiko bisnis. Tapi kalau bersaing karena tidak adanya level playing field atau kesetaraan itu amat disayangkan. Padahal justru platform lokal mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing," pungkasnya.
Apalagi, sepengetahuannya belum ada kajian konkret mengenai tata cara memajaki penjual yang berdagang di media sosial. Selain itu, di Indonesia belum banyak warga, termasuk pelaku UMKM yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
"Jadi rumit nanti pengawasannya," pungkasnya.
Contoh Singapura
Berkaca dari Singapura, pemerintah Singapura menerapkan diskon pajak supaya industri digital ini tumbuh dulu. Baru kemudian, pemerintah Singapura memungut pajak dari para penjual di marketplace.
"Kami lihat ini belum dipertimbangkan. Kalau pun sudah, belum diinformasikan secara baik," ujar dia.
Karena itu, idEA memintah pemerintah untuk menunda keputusan itu dan mengkaji ulang. idEA siap duduk bersama dengan pemerintah untuk membuat kajian yang memuat tentang dampak, kesiapan dan resiko lainnya.
"Kami meminta (peraturan) ini ditunda dan dikaji ulang hingga studi kelayakan ini rampung dibuat," ujarnya.
Ignatius mengatakan proses pembuatan kajian itu memakan waktu yang tidak sedikit karena harus melibat banyak pihak seperti pemerintah baik kementerian keuangan, dirjen pajak, dukcapil dll dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
"Berdiskusi dengan YLKI bisa 3 bulanan dan studi lainnya bisa nambah 6 bulan. Paling cepat kebijakan ini bisa berlaku tahun depan. Kami pun perlu waktu untuk mensosialisaski regulasi ini dengan pelapak ini," ucapnya.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR