Terik matahari menembus suhu 36 derajat Celcius, di pekan kedua Oktober. Kemarau sedang
mencapai puncaknya di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tanah-tanah mengering.
Di tengah panas yang memanggang itu, Suwardi melaju dengan motornya menuju lokasi sumur bor, satu kilometer dari Balai Desa Doudo. Ada dua sumur berkode Sumur 2 dan Sumur 3 yang
terpisah dalam jarak 200 meter.
Pria 54 tahun itu lalu masuk ke bangunan Sumur 3 yang seukuran kamar tidur. Di dalamnya, ia segera memutar roda pompa berwarna merah. Sepekan sekali, Suwardi bertugas mengaktifkan
pompa listrik secara bergantian di antara kedua sumur itu. “Pompanya harus bergantian agar
tidak cepat rusak,” ujar Suwardi, yang menjadi pengurus SPAMS Qurnia, Desa Duodo.
Pompa itu mengangkat air dari kedalaman 102 meter di dalam tanah, lalu mengalirkannya ke rumah-rumah warga Desa Doudo melalui jaringan pipa. Kini, dua sumur bor di Doudo itu telah
menjangkau 349 saluran rumah tangga. Bukan hanya dinikmati sendiri, air sumur juga dialirkan untuk 55 rumah tangga di dua desa lain, Desa Sekapuk dan Desa Wotan.
Dengan debit sekitar empat liter per detik, air sumur itu cukup untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci, kakus, serta usaha. Juga untuk menyiram berbagai tanaman di pekarangan rumah
warga di pagi dan sore hari.
Sudah satu dasawarsa Desa Doudo bisa menikmati limpahan air bersih seperti itu di antara kekeringan yang melanda berbagai desa di sepanjang pantai utara Jawa. Bahkan, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), merilis kekeringan tahun ini dialami oleh 4.052 desa dengan 4,87 juta orang terdampak.
Komisatun tak pernah melupakan masa-masa saat musim kemarau datang, lantaran telaga satu-satunya di desa selalu mengering tanpa meninggalkan setetes air. Sambil membawa jeriken, perempuan yang kini berusia 80 tahun itu terpaksa berjalan kaki berkilo-kilometer ke desa lain yang memiliki sumur, untuk berburu air bersih. “Biasanya ke Desa Sekapuk, berjalan
sekitar 30 menit sampai satu jam,” katanya mengenang.
Sejak Dulu
Desa Doudo berada di 35 kilometer arah utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Berada di dataran rendah yang kering membuat warga Desa Doudo sulit menemukan air di kedalaman 20 meter. Mitos sulit air telah dimulai dari nama Doudo sendiri. Salah satu versi sejarah kampung yang diceritakan turun-temurun menyebutkan, bahwa Doudo berasal dari bahasa Kawi “doh” yang berarti jauh dan “uda” adalah air.
Satu-satunya sumber air adalah telaga seluas 1,4 hektare yang berisi air bervolume 1,5
meter kubik saat musim hujan. Telaga itu dipakai mulai untuk minum, mandi, cuci,
kakus, sekaligus memandikan ternak. Karena dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, air telaga yang tersedia itu pun tak cukup untuk mengairi sawah dan ladang jagung. Namun, usia telaga hanya sekitar 6-8 bulan tiap tahun. Saat musim kemarau tiba, telaga berubah kerontang.
Kondisi alam yang serba tak menguntungkan itu membuat Doudo ditinggalkan warganya. Kepala Desa Doudo, asti sufana, mengatakan, hampir 20 persen penduduk Doudo dari total 1.508 jiwa, sejak dua generasi terakhir memilih menjadi tKI di Malaysia. “Dulunya tidak ada pekerjaan alternatif. Menjadi petani pun tidak ada air untuk bertanam saat kemarau,” kata asti.
Doudo pun kerap disebut kampung “jamal” alias “janda Malaysia”, karena banyak istri yang ditinggal suaminya merantau ke Negeri Jiran. Mitos itu akhirnya perlahan-lahan
runtuh pada 2008, setelah Doudo mendapatkan sumur bor dari Pemkab Gresik.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR