BSA (The Software Alliance) mengungkapkan sebesar 83 persen software yang beredar di Indonesia adalah bajakan pada 2007 dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Sebagai perbandingan, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi di Asia Pasifik adalah 57 persen.
"Di kawasan Asia Pacifik, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia sendiri mencapai 83 persen. Ini tinggi sekali, bahkan termasuk yang tertinggi di dunia," kata Senior Director BSA Tarun Sawney dalam acara kampanye Legalize and Protect di Jakarta.
Karena itu, BSA gencar berkampanye "Legalize and Protect" di beberapa negara Asean termasuk Indonesia supaya pegguna ingin menggunakan software legal atau berlisensi, karena penggunaan piranti tak berlisensi berisiko terkena serangan siber.
Tarun mengatakan dampak penggunaan software bajakan adalah rentan terhadap serangan siber, data pengguna juga bisa hilang dan pemulihannya akan memakan waktu lama, bahkan berpotensi membuat perusahaan atau bisnis mengalami kerugian yang besar.
"Kita kadang berpikir kalau ini tidak akan terjadi sama kita dan ini salah. Kalau terjadi, biaya yang yang dikeluarkan akan sangat besar dan bisa membuat perusahaan itu tutup. Uang yang kita keluarkan untuk membeli software berlisensi akan melindungi kita," ucap Tarun.
Penggunaan software bajakan berpeluang terkena serangan malware hingga 29 persen.
Meskipun demikian, Tarun juga mengatakan penggunaan software berlisensi bukan berarti bebas dari serangan siber tetapi setidaknya software berlisensi akan menjadi benteng pertama untuk perlindungan.
"Bila sebuah perusahaan mengalami serangan malware, itu bisa menyebabkan kerusakan reputasi dan kerugian bisnis yang besar," ujar Tarun.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR