Perkembangan industri Fintech (Financial Technology) di Indonesia membuka potensi terjadinya kriminalisasi finansial yang di antaranya seperti kasus pencurian uang, pendanaan terorisme, pencurian, dan sebagainya.
Dewi Fadjarsarie Handajani S.E. Ak, M. Com selaku Analis Eksekutif Senior pada Fungsional Pengendalian Kualitas dan Monitoring Pengawasan Sektoral - Grup Penanganan APU PPT OJK, mengatakan, ”Peluang untuk melakukan pencucian uang dan pendanaan terorisme ini semakin terbuka lebar dengan adanya model bisnis seperti pinjaman online, pembelian investasi online, polis asuransi online, dan sebagainya.”
Baca Juga : Di 2018, Kontribusi Go-Jek ke Perekonomian RI Mencapai Rp44,2 Triliun
“Oleh karena itu, para penyedia layanan Fintech ini harus menyiapkan sistem agar terhindar terhadap individu-individu yang memiliki resiko tinggi seperti PEP (Politically Exposed Person), kejahatan finansial, penjualan obat-obatan terlarang, human trafficing, sehingga menghindari para penyedia layanan Fintech ini dari kerugian,” jelas Dewi di acara diskusi bertema “Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme: Ancaman bagi Perkembangan Industri Fintech”, di kantor AFTECH UnionSpace, Jakarta, Kamis (21/03/19)
Melalui diskusi yang menghadirkan perwakilan dari perusahaan penyedia solusi keuangan di Indonesia ini, Dewi berharap akan semakin mendukung peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/POJK.01/2017 dalam penerapan APU & PPT di sektor jasa keuangan dan mengenai Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Baca Juga : Aturan Kian Ketat, Bunga Pinjaman Online Kini tak Lagi Mencekik
“Harapan saya, melalui diskusi ini penyedia solusi keuangan khususnya di industri Fintech semakin sadar akan pentingnya penerapan APU PPT. Bukan hanya sekedar untuk pemenuhan regulasi, namun juga sebagai kesadaran untuk memberantas kejahatan finansial di Indonesia,” pungkas Dewi.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR