Industri pinjaman online belakangan mendapat sorotan tajam. Beragam insiden negatif kerap terjadi, mulai dari bunga mencekik sampai proses penagihan yang tidak manusiawi.
Citra negatif ini mendorong pelaku industri pinjaman online untuk berbenah. Sebagai langkah awal, mereka membentuk asosiasi khusus yang dinamakan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia). “Anggotanya adalah P2P lending yang telah terdaftar dan diawasi oleh OJK” ungkap Boan Sianipar, VP of Business Development Kredit Pintar. Saat ini, ada 99 perusahaan pinjaman online yang terdaftar dan diawasi oleh OJK, termasuk Kredit Pintar.
BACA JUGA: Kisah Sedih Korban Pinjaman Online
Melalui asosiasi ini, para anggota mencoba melakukan self regulation, termasuk menerbitkan kode etik dalam menjalankan bisnis pinjaman online ini. Kode etik ini mengatur aspek penting dari operasional setiap pinjaman online, dan diharapkan dapat mengurangi ekses negatif dari industri ini.
Contohnya adalah soal suku bunga. Anggota asosiasi sepakat, bunga yang fair bagi perusahaan pinjaman online dan peminjam adalah maksimal 0,8% per hari. Penyedia pinjaman online bisa mematok bunga lebih rendah jika ingin kompetitif, namun tidak boleh lebih dari angka 0,8% per hari.
Selain itu, besarnya bunga, biaya administrasi, dan biaya keterlambatan juga tidak boleh melebihi 100% dari nilai pinjaman. “Jadi jika seseorang meminjam Rp.500 ribu, uang yang harus dikembalikan maksimal Rp.1 juta” ungkap Boan dalam pembicaraan dengan InfoKomputer. Aturan ini diharapkan bisa menghilangkan praktek bunga mencekik saat ini, ketika nilai bunga dan biaya keterlambatan bisa berkembang 3-4 kali dari nilai pinjaman.
Soal penagihan, anggota AFPI juga sepakat untuk menetapkan batasan khusus agar proses penagihan lebih elegan dan manusiawi. Contohnya penagih dilarang menelepon di luar jam yang ditentukan, dan harus menggunakan tutur bahasa yang telah ditentukan. Ke depan, tim penagih juga harus mengantongi sertifikasi khusus yang dikeluarkan oleh AFPI. “Saat ini kami sedang menyusun standarnya bersama dengan Badan Sertifikasi Nasional” tambah Boan.
Agar faktor risiko lebih terjaga, pembenahan juga dilakukan secara internal. Contohnya dengan membangun database calon peminjam yang bisa diakses semua anggota asosiasi. Hal ini untuk mendeteksi calon peminjam nakal yang mencoba meminjam uang ke banyak pinjaman online dalam waktu berdekatan. “Jadi jika terdeteksi oknum seperti ini, kita bisa langsung tahu” tambah Boan.
Semua pembenahan tersebut dilakukan untuk mengembalikan kembali citra pinjaman online yang belakangan sedang terpuruk. “Padahal tujuan utama Kredit Pintar adalah memberikan pinjaman secara cepat ke orang yang tepat dengan memanfaatkan teknologi” ungkap Boan.
Boan mencontohkan testimoni salah satu nasabah Kredit Pintar. Ia adalah seorang ibu yang baru melahirkan di sebuah rumah sakit. Namun karena tidak sanggup membayar biaya perawatan, ibu ini belum bisa pulang dengan sang bayi. Ibu ini pun kemudian melakukan pinjaman ke Kredit Pintar. “Ibu ini pun bisa pulang, dan ketika sampai rumah, para kerabat datang memberikan bantuan finansial” cerita Boan.
Dari cerita tersebut bisa tergambarkan, pinjaman online sebenarnya bisa membantu masyarakat yang membutuhkan dana secara mendadak. Sayangnya cerita yang muncul tentang pinjaman online didominasi cerita negatifnya. “Padahal industri P2P lending ini baru muncul satu tahun belakangan, jadi ibaratnya masih bayi” ungkap Boan.
Dengan kemunculan AFPI dan kode etik, ekses negatif terkait pinjaman online diharapkan bisa jauh berkurang. Namun Boan mengingatkan, kode etik itu hanya mengikat kepada penyedia pinjaman online yang terdaftar di OJK. “Jadi, masyarakat sebaiknya meminjam ke P2P lending yang sudah terdaftar ini” ungkap Boan.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR