Sejumlah negara tengah mengembangkan jaringan 5G, tak terkecuali Indonesia. Masing-masing memiliki tantangan sendiri, terutama pada infrastruktur yang disesuaikan dengan geografi negara.
Indonesia misalnya, secara geografis memiliki luas wilayah yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau.
Menurut Profesor Merouane Debbah dari Huawei Mathematical and Algorithmic Sciences Lab, secara umum, penggunaan frekuensi rendah lebih baik dibanding penggunaan frekuensi yang lebih tinggi untuk penerapan 5G di Indonesia.
"Kenapa? Karena ukuran infrastrukturnya juga bergantung pada frekuensi," jelas Debbah dalam sebuah konferensi terbatas bersama Huawei yang membahas seputar jaringan 5G di Paris, Perancis, pekan lalu.
Frekuensi rendah memiliki jangkauan yang lebih jauh dibandingkan frekuensi tinggi sehingga memaksimalkan cakupan jaringan (coverage). Jika menggunakan frekuensi tinggi, lanjut Debbah, maka dibutuhkan usaha ekstra untuk memperluas jangkauan.
"Untuk kasus di Indonesia, dimana negaranya sangat besar, frekuensi yang rendah akan lebih baik. Saat ini frekuensi yang cocok ada di 3,4 hingga 3,8 GHz yang cukup masuk akal," ucap Debbah.
Namun, meski memiliki jangkauan yang lebih jauh, Debbah mengatakan frekuensi rendah juga memiliki kekurangan berupa potensi kecepatan yang tak sekencang frekuensi tinggi.
"Frekuensi yang sangat rendah tidak memiliki banyak bandwidth, itu masalahnya," ujar Debbah.
Pemerintah Indonesia sendiri berencana akan menguji coba pita frekuensi tinggi dan rendah, yakni 26 GHz dan 3,5 GHz pada tahun ini dan berencana melelang frekuensi 5G pada tahun 2022.
Kembali ke Huawei, vendor infrastruktur jaringan asal China tersebut memang antusias menyambut jaringan 5G sejak tahun 2009.
Huawei telah menginvestasikan 2 milliar dollar AS sejak tahun 2009 untuk mengembangkan teknologi 5G yang berkutat pada arsitektur jaringan, penggunaan spektrum, teknologi antarmuka udara, purwarupa, dan sebagainya.
Mereka juga telah menjalin kerja sama dengan beberapa operator global untuk merealisasikan 5G, seperti China Mobile, Vodafone, XL Axiata, SingTel, Deutsche Telekom, Etisalat, Telefónica, TeliaSonera, and SoftBank.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR