“Influencer itu ibaratnya mesin, mesin untuk memersonalisasikan pesan dari suatu brand atau produk, terhadap follower-nya,” ucap Suryo. Dengan penyampaian yang sesuai dengan keseharian dari para follower-nya, maka audiens semakin mudah menerima brand tersebut.
Fina, sapaan akrab dari Sara Herfina, juga menjelaskan bahwa influencer marketing mempunyai beberapa lapisan atau layer. “Karena kalau kita mau building loyalty, building engagement, building repurchasery, then we’ll go for little influencer. That are ‘more reliable’, ‘more creating engagement’, creating more conversation,” jelasnya.
Jadi influencer marketing yang dipilih menyesuaikan dengan brand positioning dan goals yang mau dicapai.
Di sesi berikutnya, “Think Like a Film Maker” yang dibawakan oleh Raditya Beer (Senior Brand Manager AXE Masterbrand of Unilever) dan Sheila Timothy (COO Lifelike Picture) membahas cara menyampaikan pesan dari brand melalui teknik storytelling.
Di sesi ini baik Raditya Beer dan Sheila Timothy sepakat bahwa suatu brand harus tahu apa yang diiinginkan dari para audiens.
“Karena sebagai brand, kita harus tahu kesukaan dari para audiens. Apalagi setiap user mempunyai multiple interest yang berbeda-beda. Jadi kita harus tahu apa yang mereka butuhkan,” jelas Raditya Beer.
Sedangkan Lala, sapaan akrab Sheila, menjelaskan, “Kita harus peka, kita harus pasang telinga untuk mendengarkan apa yang audience itu benar-benar inginkan.” Dan keduanya juga sepakat bahwa dalam membuat web series ataupun film, harus mempunyai bagian yang autentik dan berbeda.
Hal ini bertujuan untuk mencegah kebosanan dari audiens jika film yang dibawakan mempunyai alur cerita yang sudah umum.
Sesi “Value of Perceived Value” oleh pembicara Budi Sulistyo (Kepala Sub Bagian Strategi Komunikasi Biro KLI Kementerian Keuangan) dan Fikri Irvandi (Content Marketing Specialist Brodo) menjelaskan betapa pentingnya owned media channel dari sebuah brand ataupun institusi pemerintahan.
Budi menjelaskan, dengan semakin banyaknya generasi millennial yang sangat paham teknologi, maka Kemenkeu pun bertransformasi menjadi institusi yang bisa mengikuti perkembangan zaman.
“Kita sekarang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mengomunikasikan kebijakan, salah satunya,” ucap Budi.
Sedangkan Fikri menjelaskan, bahwa di Brodo kerap mendengarkan feedback atau comment dari customer, non customer, atau yang pernah membeli produk Brodo namun tidak pernah membeli lagi, melalui owned media channel yang dimilikinya. Dengan mengetahui reaksi dari pelanggan, “Feedback- nya ke kita menjadi besar banget,” ucap Fikri.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR