Indonesia berambisi menjadi negara ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Namun jumlah programmer yang ada saat ini disebut masih belum memenuhi kebutuhan.
Meski jumlah lulusan pendidikan vokasi maupun sarjana teknologi informatika (TI) di Indonesia cukup banyak, namun tidak sepenuhnya terserap ke industri digital dan menjadi seorang programmer.
"Saya mengidentifikasi ada tiga masalah, yang pertama adalah kurikulum," kata CEO startup developer lokal, Dicoding, Narenda Wicaksono di Jakarta.
Menurut pria yang akrab disapa Naren itu, butuh waktu empat tahun bagi perguruan tinggi untuk memperbarui kurikulum, hal itu disebutnya terlalu lama, sementara teknologi berkembang sangat cepat.
Dengan kondisi kurikulum yang kurang fleksibel tersebut, Naren mengatakan agak sulit menyesuaikan perkembangan dunia digital yang tiap tahun selalu berkembang.
Kualitas pengajar TI yang belum merata juga menjadi masalah berikutnya yang harus dibenahi. Menurut Naren, masih banyak pengajar TI yang harus meningkatkan kompetensinya agar transfer ilmu ke mahasiswa lebih maksimal.
Sementara itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah berikutnya. Naren mengatakan, kualitas input SDM di Indonesia juga belum merata.
"Di Indonesia, belajar logika itu belum menjadi kewajiban, karena kebanyakan masih menggunakan sistem hafalan. Sehingga input fundamental rata-rata belum punya standar yang dibutuhkan untuk melewati kelas programming secara penuh," lanjutnya.
Ketiga kendala di atas membuat ketimpangan antara kebutuhan programmer di perusahaan saat ini dan jumlah programmer yang siap dan sesuai kompetensi.
Hal itu pun diamini oleh Erma Susanti, dosen TI di Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, Yogyakarta.
Erma menambahkan selain ketiga hal tadi, kurangnya motivasi mahasiswa juga menjadi kendala.
"Sekitar 30 persen saja (mahasiwa yang punya motivasi belajar TI). Ya itu, jurusan TI itu dipikirnya cuma belajar komputer, animasi atau apa, eh ternyata di dalam belajar pemrograman, di luar ekspektasi, tapi sudah terlanjur masuk kulilah dan susah keluar," papar Erma.
Menurut survei Dicoding tentang demografi developer Indonesia, hanya 56 persen lulusan TI yang berkarir sebagai developer di perusahaan. Sisanya kebanyakan bekerja sebagai developer lepas.
Penelitian itu dilakukan pada bulan April lalu, melibatkan 150.000 developer TI yang tersebar di 460 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Upaya kolaboratif Fakta lain yang ditemukan, walaupun mayoritas responden merupakan lulusan TI, namun dua dari tiga responden mengaku baru "merasa" belajar programming setelah mengikuti kursus online, seperti yang diadakan Dicoding.
Dicoding mengklaim, satu dari tiga responden merasa bahwa materi yang diberikan di kelas pemula di Dicoding hampir setara dengan materi yang mereka terima selama kuliah.
"Fakta ini menunjukan bahwa perlu ada upaya kolaboratif dan kerja sama dari berbagai pihak, baik sektor industri, pendidikan, dan pemerintah untuk mengakselerasi keterampilan SDM di bidang TI di Indonesia," jelas Naren.
Dicoding sendiri menawarkan pembelajaran koding secara online melalui situs dicoding.com. Ada 19 kelas berbeda yang dibagi menjadi kelas pemula hingga mahir. Beberapa kelas bisa diambil secara gratis namun ada pula yang berbayar.
Materi yang disuguhkan di antaranya membuat aplikasi Android, membuat game, kotlin for Android, Blockchain, Java, Web, Chatbot, dan manajemen source code.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR