Uber baru saja mengumumkan laporan keuangan untuk kuartal pertama 2019. Ini adalah laporan keuangan pertama setelah Uber menjadi perusahaan publik awal Mei kemarin.
Dalam laporan tersebut, Uber mencatat pendapatan US$3,1 miliar atau naik 20% dibanding tahun lalu. Peningkatan terbesar terjadi di layanan Uber Eats (layanan pesan makanan seperti GoFood) yang mencatat kenaikan 89% dengan nilai US$536 juta. Uber juga mendapatkan momentum di bisnis pengiriman kargo dengan kenaikan mencapai 200%. Sedangkan layanan inti Uber, yaitu taksi online, hanya tumbuh 10%.
Meski pendapatan meningkat, Uber secara total merugi US$1,1 miliar atau sekitar Rp.15,4 triliun. Hal ini karena pengeluaran Uber di kuartal pertama ini mencapai US$4,1 miliar, naik 35% dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Nelson Chai, CFO Uber, tingginya pengeluaran tersebut karena Uber saat ini melakukan investasi di produk dan teknologi. Investasi ini penting dilakukan untuk memastikan Uber memiliki keunggulan kompetitif dibanding pesaingnya. Subsidi dan promosi juga menjadi salah satu pos pengeluaran terbesar. “Kami tidak ragu untuk berinvestasi besar demi menjaga posisi kami di pasar global” ungkap Nelson.
Bisnis Uber sendiri tumbuh di seluruh wilayah tempat mereka beroperasi, kecuali di kawasan Amerika Latin. Di kawasan ini, pendapatan Uber turun 13% yang banyak disebabkan kerasnya kompetisi di sana. Di Meksiko, Uber harus bersaing dengan anak perusahaan raksasa taksi online, Didi. Sementara di Brazil, ada 99Taxis yang juga cukup kuat.
Sebenarnya, bukan cuma Uber yang merugi. Pesaing utama Uber di AS, yaitu Lyft, baru-baru ini juga mengumumkan kerugian US$1,14 miliar di tiga bulan terakhir. Jika Uber dan Lyft rugi sebesar itu, pertanyaan besar pun menggelitik: benarkah industri ride sharing memiliki prospek secara bisnis?
Akan tetapi, Dara Khosrowshahi, CEO Uber, yakin Uber akan segera menemukan momentumnya. Khosrowshahi menunjuk kenaikan engagement pengguna terhadap layanan Uber, yang mengindikasikan kian tergantungnya konsumen akan solusi transportasi online.
Khosrowshahi juga menunjuk industri transportasi online yang mulai meninggalkan “perang” subsidi. Kini Uber, Lyft, dan pesaingnya lebih fokus meningkatkan kualitas layanan, sehingga aktivitas “bakar uang” kini mulai ditinggalkan.
Yang menarik, saham Uber justru naik setelah laporan keuangan ini dirilis. Pasalnya, analis memandang kerugian Uber ini masih sesuai dengan prediksi.
Dari kasus ini, kita bisa melihat enaknya perusahaan startup digital. Meski rugi triliunan rupiah, mereka tetap mendapat kepercayaan dari pemegang saham.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR