Pada 4 Juli lalu, Jepang memberlakukan pembatasan ekspor produk teknologi tinggi ke Korea Selatan (Korsel), termasuk tiga bahan penting yang diperlukan untuk produksi semikonduktor dan layar smartphone.
Padahal, Jepang menguasai sebagian besar pasaran dunia atas bahan dimaksud, yakni fluorinated polymides (90 persen stok dunia berasal dari Jepang), hydrogen fluoride (70 persen), dan photoresist (90 persen).
Pelaku industri teknologi Korsel seperti Samsung, LG Display, dan SK Hynix pun terancam kesulitan bahan baku.
Tindakan Jepang ini disambut gelombang protes oleh para warga Korsel yang menyerukan boikot terhadap produk-produk asal Negeri Sakura tersebut.
Tagar #BoycottJapan menjadi trending di media sosial di kalangan warganet Korsel. Di Instagram, lebih dari 2.400 posting publik bertagar #BoycottJapan sudah beredar semenjak pembatasan ekspor diberlakukan pada 4 Juli.
Beberapa posting menggunakan simbol lingkaran merah di bendera Jepang sebagai huruf “O” untuk kata “No”. “Tidak, boikot Jepang: Jangan pergi, jangan beli,” bunyi tulisan dalam rangkaian posting itu.
Sebagian warga Korsel dilaporkan membatalkan rencana perjalanan ke sejumlah destinasi populer seperti Tokyo dan Osaka. Warga Korsel menyumbang 13 persen dari belanja turis asing di Jepang pada 2018.
Produk-produk konsumen dan peritel Jepang juga menjadi sasaran. Di antara warganet Korsel beredar daftar alternatif merek lokal untuk aneka barang dari Jepang. Misalnya, daripada belanja di peritel Uniqlo dari Jepang, diimbau untuk ke 8 Seconds atau Top 10.
Lalu, produk-produk kecantikan Shiseido Co diganti dengan Missha dari C&C co. Hingga bir Asahi pun bisa diganti minuman serupa dari Hite Jinro Co.
Korean Supermarket Alliance, organisasi yang membawahi lebih dari 23.000 toko, menyatakan akan berhenti menjual produk-produk Jepang untuk sementara, dalam rangka protes.
Berakar dari Perang Dunia II Pembatasan ekspor yang diberlakukan Jepang berupa rencana penghapusan nama Korea Selatan dari “daftar putih” (whitelist) berisi negara-negara dengan ketentuan ekspor paling longgar.
Walhasil, tiap kali perusahaan Jepang ingin mengekspor barang terkait ke Koresel, prosedur perizinannnya pun jadi lebih rumit dan memakan waktu lama hingga 90 hari.
Daftar putih ekspor Jepang berisi 27 negara, mulai dari Jerman hingga Inggris dan Amerika Serikat. Korea Selatan ditambahkan ke whitelist pada 2004 dan akan menjadi negara pertama yang dihapus dari daftar tersebut.
Konflik antara Jepang dan Korsel ini memiliki sejarah panjang dan berakar di zaman kolonisasi semenanjung Korea oleh Jepang pada 1910 hingga berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.
Isunya adalah perlakuan terhadap warga Korsel oleh Jepang yang memanfaatkan mereka sebagai pekerja paksa, dan mengirim para perempuan ke rumah bordil untuk tentara Jepang.
Oktober tahun lalu, pengadilan Korsel memerintahkan perusahan Jepang, Nippon Steel membayar kompensasi ke para warganya yang digunakan sebagai pekerja paksa. Nippon Steel merupakan salah satu dari sejumlah perusahaan Jepang yang diminta membayar kompensasi.
Pemerintah Jepang ngotot tak mau menuruti perintah pengadilan Korsel dengan mengatakan bahwa semua isu ganti rugi telah diselesaikan dalam perjanjian 1965, saat Korsel dan Jepang mulai menjalin kembali hubungan diplomatik seperti dirangkum Reuters.
Korsel menganggap pembatasan ekspor oleh Jepang -sebagai reaksi terkini dalam konflik kedua negara- merupakan pelanggaran aturan Organisasi Pedagangan Dunia (WTO). Korsel pun membawa masalah ini ke WTO untuk diselesaikan.
Menteri Perdagangan Korea Selatan, Yoo Myung-hee mengatakan bahwa pembatasan material produk teknologi tinggi oleh Jepang ke Korsel merupakan “ancaman besar” untuk ekonomi global dan bisa mengganggu rantai pasokan komponen.
Menteri Keuangan Korea Selatan, Hong Nam-ki mengatakan negaranya sedang mempertimbangkan untuk melakukan tindakan balasan terhadap Jepang, apabila pembatasan ekspor diterapkan dalam waktu lama.
“Tak menutup kemungkinan untuk implementasi tindakan yang dibutuhkan terhadap Jepang, mengingat WTO butuh waktu lama untuk mencapai kesimpulan,” ujar Hong dalam sebuah siaran radio.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR