Teknologi bak urat nadi kehidupan bagi perusahaan startup. Salah satu teknologi itu adalah Artificial Intelligence (AI). Bagaimana Gojek memanfaatkan AI?
Syafri Bahar, VP Data Science, Gojek, mengatakan bahwa pada intinya, tujuan utama Gojek memanfaatkan AI dalam mengembangkan platformnya yaitu untuk memudahkan aktivitas mitra, konsumen, dan merchant. Penerapan AI diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan bisnis, serta memberikan dampak secara bisnis maupun sosial.
Beberapa aplikasi AI yang sudah diterapkan oleh Gojek, seperti end-to-end booking flow dan seluruh customer journey dari acquisition, activation, retention, dan churn. Syafri mencontohkan bagaimana AI pada allocation system dapat mengoptimalkan proses untuk memilih mitra pengemudi yang tepat untuk menyelesaikan order konsumen; untuk menentukan lonjakan harga untuk memenuhi kriteria demand-supply dan rekomendasi GoFood; serta untuk menentukan titik jemputan yang paling nyaman buat mitra pengemudi dan konsumen; dan lain-lain.
Ke depannya, kita akan melihat lebih banyak penerapan AI di Gojek. Menurut pemegang gelar Master di bidang Applied Mathematics dari University of Twente, Enschede, Belanda itu, misi Gojek adalah terus meningkatkan adopsi AI.
Tantangan Skala dan Kecepatan
Penerapan AI bukan hal mudah, tak terkecuali bagi Gojek. Syafri Bahar mengakui bahwa Gojek memiliki masalah yang sangat beragam di bidang AI/ Data Science yang sangat beragam. “Hal ini yang membuat Gojek cukup unik,” imbuhnya.
Bisa dibayangkan bagaimana ragam masalah itu muncul. Ada lebih dari 20 layanan yang berbeda, dan tiap layanan memiliki permasalahan yang unik yang bisa diselesaikan dengan AI. “Hampir semua layanan di Gojek memanfaatkan AI untuk implementasinya,” ujar Syafri.
“Tantangan terbesar adalah bagaimana kami bisa mengaplikasikan model machine learning untuk bisa melayani jutaan request setiap detiknya. Di Gojek setiap detiknya ada 3 juta internal API call, dan dengan skala tersebut, kita harus bisa membangun model yang memberikan respons cepat,” paparnya.
Pria yang pernah berkarier sebagai Quant Risk di Rabobank, Belanda, ini memberi gambaran, tidak masuk akal jika customer harus menunggu 5-10 detik untuk menunggu rekomendasi GoFood saat membuka aplikasi GoFood. “Customer keburu kesal dan menutup aplikasi. Kami harus bisa develop model yang baik, namun juga bisa merespon dengan cepat, misal dengan waktu respon skala millisecond,” ia menambahkan.
Tantangan Prioritas
Tantangan berikutnya adalah menentukan masalah apa yang benar-benar harus diselesaikan dengan AI karena SDM dan infrastruktur yang dimiliki perusahaan sangat terbatas. Walhasil, Gojek harus menentukan prioritas.
“Di Gojek 3 pilar utama kami adalah speed, innovation, dan impact . Problem solving harus memberikan impact yang signifikan, sehingga kita harus benar-benar menentukan prioritas,” kata Syafri Bahar.
Lebih jauh lagi, Syafri mengatakan bahwa memformulasikan masalahnya sendiri merupakan tantangan tersendiri karena seringkali hal itu tidak muncul ke permukaan. “Sehingga kami harus melakukan analisis mendalam, melakukan breakdown masalah supaya lebih jelas apa yang harus diselesaikan,” jelasnya.
Dan setelah dilakukan analisis mendalam, terkadang, solusinya tidak harus AI. “Terkadang formulasi matematika atau heuristis sederhana sudah cukup untuk menyelesaikan problem tersebut,” ujar Syafri.
Kelangkaan SDM
Tantangan lain yang kerap disuarakan organisasi dalam menerapkan AI adalah kelangkaan sumber daya manusia (SDM) di bidang AI. Gojek pun mengalaminya. Syafri mengaku kesulitan menemukan SDM yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan perusahaan.
“SDM Data Science di Gojek harus full-stack , di mana masing-masing harus paham alur pekerjaan mulai dari formulasi masalah bisnis, eksplorasi data, membuat feature ( feature engineering ), membuat model machine learning , lalu mengaplikasikan ke sistem produksi dengan standar production-level-code,”ujarnya panjang lebar.
Secara umum, Syafri juga melihat kelemahan SDM AI di Indonesia dalam hal kemampuan analytical thinking dan problem solving. Ditambah lagi dengan adanya tren “Shiny Object Syndrome” yang belakangan ini ia rasakan dialami kebanyakan tech talent saat ini. Banyak orang lebih tertarik untuk mempelajari hal teknis dari sesuatu yang sedang tren.
“Misalnya, saat ini sedang tren soal deep learning. Semua belajar deep learning. Padahal belum tentu semua masalah harus diselesaikan dengan deep learning. Jarang juga yang sampai mengaplikasikan ke level production,” jelas Syafri.
Yang terjadi adalah banyak yang mengandalkan penggunaan library machine learning yang sudah ada tanpa melakukan eksplorasi data lebih lanjut. Padahal, menurut Syafri, eksplorasi penting untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan dengan kondisi data yang beragam. “Bukan hanya sekedar import library , lalu masukkan data ke model, lalu jadi,” tandasnya.
Pertumbuhan Positif SDM
Meski adda isu kelangkaan SDM AI, Syafri Bahar melihat mulai bermunculannya komunitas-komunitas belajar AI. Beberapa universitas juga sudah menyadari adanya gap antara permintaan dan penawaran di pasar SDM.
“Universitas juga mulai mengulas kembali kurikulum di kampusnya. Jadi arah pertumbuhannya cukup positif, menurut saya,”imbuh Syafri.
Gojek sendiri sudah bekerjasama dengan beberapa universitas, salah satunya adalah Universitas Indonesia untuk kolaborasi GoAcademy Gojek. Kolaborasi mencakup penyelenggaraan workshop, membuka kesempatan magang, perekrutan setelah lulus atau untuk penelitian.
“Selain itu bersama dengan Binus, kami juga mulai mencoba program magang buat dosen yang menurut kami efeknya akan lebih berkelanjutan buat pencetakan SDM di bidang AI,” ujarnya.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR