Mulai Maret 2020, Twitter akan menandai atau bahkan menghapus (take down) unggahan gambar atau video yang telah dimanipulasi atau diedit secara digital.
Twitter menyatakan akan lebih ketat mengawasi setiap konten yang diunggah serta menegaskan mana parodi dan mana disinformasi yang tidak diizinkan dalam platformnya.
Menurut Head of Site Integrity Twitter, Yoel Roth, pendekatan yang dilakukan tidak fokus pada teknologi spesifik yang digunakan untuk memanipulasi atau membuat konten. Tapi kepada hasil akhir manipulasi.
"Apakah Anda menggunakan alat pembelajaran mesin canggih atau hanya memperlambat video menggunakan aplikasi di ponsel Anda, fokus kami adalah melihat hasilnya, bukan bagaimana itu dicapai,” katanya seperti dikutip The Verge.
Untuk menentukan apakah suatu unggahan harus dihapus atau sebatas ditandai, Twitter mengatakan dalam sebuah postingan blog, akan menerapkan beberapa tes: Apakah media yang disertakan telah diedit secara signifikan atau dibuat untuk menyesatkan? Apakah dibagikan secara menipu?.
Namun, jika kicauan cenderung berdampak pada keselamatan publik atau menyebabkan kerusakan serius, maka tweet itu secara keseluruhan akan langsung dihapus.
Twitter mengatakan mungkin juga memberikan peringatan jika diangggap penggunanya akan terlibat dengan tweet yang membawa konten yang dimanipulasi. Atau membatasi jangkauan tweet itu.
Vice Presiden for Trust and Safety Twitter, Del Harvey, menjelaskan, media sosial berlogo burung berkicau itu mengembangkan aturannya setelah mensurvei lebih dari 6.500 pengguna, kelompok sipil dan akademisi. Hasilnya, Twitter menemukan sekitar 70 persen pengguna tidak dapat menerima jika Twitter diam saja terhadap konten-konten yang sengaja dimanipulasi.
Sementara, lebih dari 90 persen mengatakan konten tersebut harus dihapus atau diletakkan di belakang label peringatan yang mengatakan video atau gambar telah diubah.
"Hal-hal yang mengganggu atau mengalihkan perhatian dari apa yang terjadi mengancam integritas informasi di Twitter," kata Harvey.
Peneliti dari Oxford Internet Institute, Samantha Bradshaw, memperingatkan bahwa mendefinisikan sebuah ancaman atau kerugian dalam konteks unggahan di media sosial tidak selalu jelas.
"Dan akan sulit untuk mengotomatisasinya dalam skala global," katanya.
Samantha mencontohkan kasus video Ketua DPRD AS Nancy Pelosi yang dibuat seperti bicara tidak jelas dan video pidato Wakil Presiden AS Joseph R. Biden Jr. yang seakan-akan mengeluarkan pernyataan rasis pada tahun lalu.
Kedua video seharusnya sudah dilabeli 'disembunyikan karena melanggar aturan penghinaan atau penyalahgunaan kekuasaan' tapi tidak diterapkan dengan alasan masih mengandung nilai berita.
Bukan cuma Twitter. Facebook yang sejak Januari lalu melarang video-video palsu juga tak mencopot video Pelosi dan Biden. Alasannya, editing atau manipulasi dilakukan menggunakan software edit video biasa, bukan kecerdasan buatan (AI).
Source | : | The Verge |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Cakrawala |
KOMENTAR