Pendiri Tesla Elon Musk kembali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap media sosial Facebook. Ia menulis tagar #DeleteFacebook" melalui akun Twitter-nya.
Tweet itu muncul sebagai tanggapan terhadap sebuah postingan komedian Sacha Baron Cohen yang menyoroti perilaku monopolistik Facebook. Sacha juga menyerukan kepada
pemerintah untuk mengambil kendali atas raksasa media sosial itu dari tangan miliarder, Mark Zuckerberg.
"#DeleteFacebook, begitu payah" jawab Musk pada tweet @SachaBaronCohen.
We don’t let 1 person control the water for 2.5 billion people.
We don’t let 1 person control electricity for 2.5 billion people.
Why do we let 1 man control the information seen by 2.5 billion people?
Facebook needs to be regulated by governments, not ruled by an emperor! pic.twitter.com/o4hNRFNpgt
— Sacha Baron Cohen (@SachaBaronCohen) February 5, 2020
Pendiri SpaceX itu juga sebelumnya memang kerap mengkiritisi Facebook di tweet-nya. Musk pernah menulis dalam tweet 2018 dia sudah tidak menggunakan situs media sosial tersebut.
"Ini bukan pernyataan politik," tulisnya menanggapi sebuah artikel tentang keputusannya menghapus Tesla dan SpaceX dari situs tersebut.
"Aku tidak melakukan ini karena seseorang memberiku keberanian untuk melakukannya. Hanya tidak suka Facebook. Beri aku semangat. Maaf," tulisnya.
Aktivitas Facebook terus meningkat dari tahun ke tahun dengan lebih dari 2,5 juta pengguna aktif setiap bulannya.
Ada tren baru-baru ini dari pengguna media sosial yang lebih muda untuk meninggalkan Facebook untuk platform lain. Namun, banyak dari mereka yang lebih muda masih menggunakan Instagram milik Facebook.
Menurut Musk, Instagram mungkin baik-baik saja, asalkan tetap cukup independen. Hal itu ia sampaikan untuk membalas pertanyaan pengguna Twitter lainnya terkait pendapatnya tentang aplikasi media sosial berbasis foto itu.
"Saya tidak menggunakan FB [dan] tidak pernah melakukannya, jadi jangan berpikir saya semacam martir atau perusahaan saya mendapat pukulan besar. Juga, kami tidak mengiklankan atau membayar pengesahan, jadi jangan peduli," katanya.
Pavel Durov Serang WhatsApp
Pavel Durov menyebut Whatsapp sebagai aplikasi berbahaya. Pasalnya Whatsapp mengesankan memberikan keamanan bagi pengguna, padahal sebenarnya memiliki banyak lubang keamanan.
Durov sendiri adalah CEO dari Telegram, aplikasi berkirim pesan seperti halnya Whatsapp. Karena itu, kritik kerasnya terhadap Whatsapp memang terasa tidak obyektif. Namun jika kita tilik lebih jauh, argumentasi Durov terhadap Whatsapp memang memiliki alasan yang masuk akal.
Durov menyebut kasus yang menimpa CEO Amazon, Jeff Bezos, sebagai salah satu bukti kelemahan Whatsapp. Bagi Anda yang belum tahu, Bezos mengalami kebocoran data akibat terjebak mengklik sebuah video yang dikirim via Whatsapp. Bezos tidak menyadari, video tersebut mengandung kode jahat yang menyedot data dari iPhone-nya. Akibatnya, pesan bernada intim Bezos kepada selingkuhannya terkuak ke publik.
Baca juga: Inilah kronologi pembajakan iPhone Jeff Bezos oleh Pangeran Arab Saudi
Juru bicara Facebook, pemilik Whatsapp, menyebut kasus penyadapan Bezos ini akibat kelemahan iPhone. Akan tetapi Durov berargumentasi, insiden ini adalah bukti kelemahan Whatsapp. “Lubang keamanan lewat video ini tidak cuma terjadi di platform iOS, namun juga Android dan Windows Phone,” ungkap Durov. Kalau memang sumber kelemahan di iOS, seharusnya kelemahan tersebut juga dieksploitasi di aplikasi perpesanan lain, termasuk Telegram.
Durov juga menunjuk fakta PBB dan Gedung Putih yang menginstruksikan pejabatnya untuk tidak menggunakan Whatsapp sebagai media komunikasi.
Durov menyodorkan bukti lain berupa ditemukannya 12 lubang keamanan di Whatsapp dalam setahun terakhir; dengan tujuh di antaranya lubang keamanan berbahaya. Durov menyebut, lubang keamanan ini bisa jadi sengaja dibuat Whatsapp sebagai pintu rahasia (backdoor) aparat keamanan dari berbagai negara untuk melakukan penyadapan. “Backdoor seringkali disamarkan sebagai lubang keamanan yang tidak disengaja,” ungkap Durov.
Durov berani mengatakan hal tersebut karena mengaku sering didatangi aparat keamanan dari berbagai negara untuk membuka backdoor di Telegram. “Kami selalu menolak untuk bekerjasama, dan konsekuensinya Telegram dilarang di negara seperti Rusia dan Iran,” ungkap Durov. Status Whatsapp, yang boleh beroperasi di dua negara tersebut, mengindikasikan Whatsapp memiliki kerjasama rahasia dengan aparat keamanan di negara-negara tersebut.
Durov juga mengkritik mekanisme enkripsi end-to-end yang dimiliki Whatsapp. Meski bertujuan melindungi percakapan pengguna, Whatsapp tidak pernah membuka algoritma di balik enkripsi tersebut. “Source code untuk enkripsi Whatsapp selalu disembunyikan, sehingga sangat sulit untuk dianalisis,” ungkap Durov. Sebagai perbandingan, source code enkripsi di Telegram bersifat open source sehingga bisa dianalisa oleh publik.
Durov mengakui, kritik kerasnya terhadap Whatsapp akan ditanggapi bias karena posisinya sebagai CEO Telegram. “Namun pernyataan saya ini semuanya berbasis fakta dan bukan pendapat pribadi. Semua fakta pun bisa diverifikasi oleh pihak ketiga,” ungkap Durov di blog-nya.
Pertanyaan besarnya, apakah pengguna tetap menggunakan Whatsapp meski terbukti berbahaya?
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR