Laporan State of Application Services (SOAS) 2020 dari F5 Networks mengungkap beberapa tren terkait transformasi digital, aplikasi, dan keamanan aplikasi. DI antaranya adalah perusahaan kurang percaya diri terhadap kemampuannya melindungi aplikasi di public cloud.
Di masa kini, berbagai kemudahan beraktivitas ditawarkan kepada konsumen dan pelanggan melalui aplikasi. Sementara di mata bisnis, aplikasi tak lagi sebuah cost center, bukan lagi sekadar penunjang bisnis.
”Dalam perekonomian digital yang semakin terkoneksi saat ini, cara perusahaan berhubungan dengan pelanggan dan menciptakan pemasukan sangat bergantung pada pengalaman digital yang didukung oleh aplikasi. Dalam banyak hal, aplikasi bukan lagi sekadar bagian dari bisnis. Aplikasi adalah bisnis itu sendiri,” ujar Adam Judd, Senior Vice President, Asia Pasifik, China, dan Jepang di F5.
Walhasil, laporan SOAS 2020 dari F5 memperlihatkan bahwa banyak perusahaan yang mulai menyadari manfaat dari meningkatnya skala dan kecepatan aplikasi yang mereka jalankan dalam bisnis mereka. Implikasinya adalah perusahaan akan menghadapi kompleksitas yang lebih besar ketika menangani lingkungan TI-nya.
SOAS 2020 menghasilkan lima temuan utama (di kawasan Asia Pasifik)
1. 82% perusahaan di Asia Pasifik (global 80%) melaksanakan transformasi digital dengan tekanan pada percepatan penyediaan layanan di pasar. Bagi 60% perusahaan, aplikasi memiliki peran yang sangat penting bagi bisnis, dengan 38% di antara responden menyatakan bahwa aplikasi mendukung bisnis dan memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
2. 86% perusahaan di Asia Pasifik (global 87%) sudah menerapkan multi-cloud dan sebagaian besar masih berkutat dengan masalah keamanan. Dan 28% responden melaporkan akan memasang lebih dari setengah aplikasinya di cloud pada akhir tahun ini.
Namun, perusahaan-perusahaan tersebut kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk menahan serangan pada lapisan (layer) aplikasi di public cloud dibandingkan data center internal perusahaan (on-premise). Di seluruh Asia Pasifik, 76% perusahaan melaporkan kesenjangan kemampuan terbesar adalah di bidang keamanan.
3. 71% perusahaan di Asia Pasifik (global 73%) melakukan otomasi jaringan untuk meningkatkan efisiensi.
“Perusahaan bisa meluncurkan produk lebih cepat sebagai respons terhadap kebutuhan bisnis. Alasan lain perusahaan dalam melakukan automation adalah untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dan mengurangi human error,” imbuh Andre Iswanto, ASEAN-Manager, System Engineering, F5.
Andre menyarankan agar keseluruhan software lifecycle diautomasi dan menjadikan sekuriti sebagai bagian dari software development lifecycle. Jika tidak, kemungkinan bisa ada celah keamanan pada aplikasi.
4. 68% perusahaan di Asia Pasifik (global 69%) menggunakan 10 atau lebih layanan aplikasi.
Dengan makin matang dan meningkatnya kemampuan arsitektur aplikasi cloud-native baru, sebagian besar perusahaan menggunakan layanan aplikasi terkait seperti ingress control dan service discovery baik di lingkungan data center internal maupun di public cloud.
“Apa yang jadi masalah di sini? Kompleksitas, dan kompleksitas adalah musuh dari sekuriti,” tegas Andre Iswanto. Oleh karena itu sebuah lanskap aplikasi modern membutuhkan layanan aplikasi modern untuk mendukung persyaratan skala, keamanan, dan ketersediaan.
5. 63% perusahaan masih menempatkan tanggung jawab utama layanan aplikasi kepada operasional TI, tapi lebih dari setengah yang disurvei juga beralih ke tim yang terinspirasi DevOps.
Tim operasional dan infrastruktur masih memikul tanggung jawab utama untuk memilih dan menggunakan layanan aplikasi. Namun ketika perusahaan memperluas portofolio aplikasi cloud-native dan container-native mereka, kelompok DevOps mengambil lebih banyak tanggung jawab untuk layanan aplikasi.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR