"Ini mau dikirim ke Karawang, sementara yang ini ke Medan" ungkap Teguh Samudra sambil menunjuk dua komputer yang ada di depannya. Sementara di bagian meja lain, dua orang lainnya sedang sibuk mengotak-atik komputer yang dipesan oleh pelanggan di Jakarta.
Itulah sedikit gambaran suasana toko komputer Hyperpedia di bilangan Kedoya, Jakarta Barat. Dirintis sejak 18 tahun lalu, Hyperpedia pada dasarnya adalah toko komputer. Namun dalam beberapa bulan terakhir, kegiatan toko ini didominasi perakitan mining rig alias komputer untuk "menambang" uang digital seperti Bitcoin.
Teguh mengaku tiap minggunya mereka bisa merakit 10-12 mining rig. Harganya beragam. Mining rig dengan konfigurasi tiga kartu grafis dibandrol di harga Rp.30 jutaan, sementara konfigurasi enam kartu bisa mencapai Rp.60 jutaan. Hyperpedia tidak cuma merakit, namun juga menyiapkan setting optimal dari kartu grafis, software untuk menambang, sampai dompet Bitcoin yang siap dijual ke pasar.
Pendek kata, pembeli tinggal colok mining rig tersebut ke listrik, dan uang digital pun siap didulang.
Adu Cepat
Dalam dunia Bitcoin, mining adalah sebutan bagi pemilik komputer yang rela menyalakan komputernya untuk mencatat seluruh transaksi yang terjadi di jaringan Bitcoin. Atas kesediaan tersebut, jaringan Bitcoin secara otomatis akan memberikan imbalan berupa keping Bitcoin sebanyak 75 koin per jamnya.
Untuk mendapatkan koin tersebut, para "pemburu" uang digital ini harus berlomba adu cepat dalam menyelesaikan semacam puzzle algoritma yang disebut hash. Semakin cepat kecepatan komputer, semakin tinggi jumlah hash (hash rate) yang bisa diproses, yang berarti semakin besar kemungkinan miner mendapatkan Bitcoin.
Berhubung semakin banyaknya penambang Bitcoin, tingkat kompetisi pun kian ketat. Dulu, mining dengan prosesor komputer biasa sudah cukup untuk mendapatkan Bitcoin. Namun kini, tidak lagi. Yang dibutuhkan adalah komputer yang bisa menghitung hash sebanyak-banyaknya. Kartu grafis yang pada dasarnya memiliki ribuan prosesor mini kini menjadi andalan. Tidak cuma satu, namun tiga sampai 6 kartu grafis harus digunakan agar bisa kompetitif.
Tak heran jika kartu grafis kini menjadi sangat langka di pasaran. "Memang terjadi lonjakan permintaan akibat kebutuhan mining ini" ungkap Setyo Ryanto, Open Platform Business Group Asus Indonesia. Ryan menyebut kartu grafis kelas atas seperti seri GTX1050 atau RX570 ke atas yang kini paling diburu. "Pihak distributor melakukan pemesanan sesuai kebutuhan normal, namun langsung habis diborong karena ada kebutuhan mining" tambah Ryan.
Layaknya hukum ekonomi, harga pun terkerek naik akibat tingginya permintaan. Nvidia GTX 1070 misalnya, yang seharusnya berada di kisaran Rp.2,6 jutaan, kini dihargai Rp.7 jutaan; itupun sudah jarang ditemukan.
Tak heran jika Hyperpedia kini mengaku sering menolak pesanan. "Sekarang susah sekali cari VGA" ungkap Panji Pamungkas, pemilik Hyperpedia. Panji mengaku harus menyusuri tiap toko di Mangga Dua untuk menemukan kartu grafis yang dicari. Kalaupun ada, seringkali mendapatkan satu seri kartu grafis namun dari dua pabrikan berbeda.
Kelangkaan kartu grafis diperkirakan akan lebih parah dalam 1-2 bulan ke depan. "Saya tanya semua pabrikan [di Tiongkok dan Taiwan], mereka mengaku sudah tidak punya stok" ungkap Teguh. Padahal sebentar lagi masuk musim Imlek yang merupakan libur panjang bagi Taiwan dan Tiongkok yang menjadi pusat pabrik kartu grafis.
Wajar jika muncul pertanyaan, apakah menjadi penambang Bitcoin segitu menggiurkan?
Balik Modal
Bagi kebanyakan orang, menghabiskan puluhan juta rupiah hanya untuk mining rig mungkin terdengar berlebihan. Namun imbal balik yang dijanjikan memang cukup menggiurkan; setidaknya untuk saat ini. Di situs cryptocompare.com, Anda bisa melakukan perhitungan pendapatan bersih yang diperoleh saat menggunakan mining rig dengan hash rate tertentu dan sudah dikurangi biaya listrik.
Sebagai contoh, konfigurasi enam Nvidia GTX 1070 akan menghasilkan hash rate sekitar 198 Mega Hash per detik (MH/s) untuk cryptocurrency Ethereum. Konsumsi daya rig tersebut sekitar 800 Watt, sementara harga listrik di Indonesia sekitar Rp.1500 per Watt. Dengan asumsi harga Ethereum sekitar US$946, rig tersebut akan menghasilkan pendapatan bersih sekitar US$16 per hari atau US$480 per bulan.
Harga rig untuk konfigurasi seperti itu sekitar Rp.40 jutaan. Jadi dalam tempo kurang dari 10 bulan, investasi tersebut sebenarnya sudah balik modal. Bahkan ketika harga cryptocurrency melambung seperti beberapa saat lalu, hanya butuh 3-4 bulan untuk balik modal.
Hal inilah yang mendorong banyak orang yang tertarik menjadi bitcoin miner. Salah satunya adalah Ade HK di Semarang. Awalnya ia mengetahui dunia mining dari temannya yang lebih dulu menjadi miner. "Dia jalan 3-4 bulan dan hasilnya lumayan bagus" cerita Ade. Akhirnya pria yang sehari-hari bergelut di industri mebel ini pun tertarik membeli mining rig dengan harga Rp.40 juta lebih.
Contoh lainnya adalah Bill (bukan nama asli). Pria asal Australia yang tinggal di Bali ini mengaku sangat percaya kekuatan cryptocurrency. Saat ini Bill mengaku memiliki berbagai mata uang digital, mulai dari Bitcoin, Ethereum, Neo, sampai Mint.
Namun khusus sebagai miner, ia mengaku baru sebulan ini melakukannya. Ia saat ini memiliki mining rig dengan enam kartu grafis. Ia sebenarnya berencana membuat mining rig dengan 32 kartu grafis, namun melejitnya harga VGA membuat Bill menunda niat tersebut.
Jika harus membandingkan, Bill menganggap menjadi miner jauh lebih menguntungkan dibanding sekadar investor. Dalam hitungannya, investasi yang ia keluarkan di mining rig ini akan balik dalam 5-7 bulan. "Dan saya akan mendapatkan kartu grafis 'gratisan' jika bosan menjadi miner" ucap Bill sambil tertawa.
Namun menjadi miner bukannya tanpa resiko. Melejitnya harga kartu grafis dan turunnya harga Bitcoin membuat hitung-hitungan investasi menjadi gampang meleset. "Waktu saya beli rig, harga Ethereum hampir 20 juta. Sekarang cuma 13-14 juta" cerita Budi. Prediksi awal Ade untuk balik modal dalam 4-5 bulan pun buyar. "Sekarang palingan 7-8 bulan" ucap Ade menggambarkan hitung-hitungan baru untuk balik modal.
Namun, bukan berarti menjadi penambang Bitcoin itu tidak ada resiko.
Sampai Kapan?
Timing akan menjadi faktor penting bagi miner. Pasalnya, sistem Bitcoin dirancang agar mengeluarkan koin baru dengan kecepatan yang stabil. Caranya dengan menyesuaikan tingkat kesulitan algoritma dengan kekuatan hash rate dari semua penambang. Semakin tinggi komputer yang digunakan para penambang, semakin sulit pula algoritma yang harus diselesaikan.
Dengan kata lain, meski mining rig performanya konstan, pendapatannya akan turun seiring waktu.
Pemilihan cryptocurrency juga penting. Dalam artikel ini, kami selalu menyebut Bitcoin sebagai mata uang digital yang ditambang. Padahal sebenarnya, Bitcoin sudah tidak ekonomis lagi untuk ditambang, utamanya untuk penambang pemula. Teguh sendiri selalu menyarankan pelanggannya untuk menambang Ethereum, cryptocurrency terbesar kedua setelah Bitcoin. "Return-nya masih bagus" ujar Teguh.
Namun, sampai kapan? Jamie Dimon, CEO JPMorgan, menyebut cryptocurrency sebagai fraud. Warren Buffet, investor dengan pengalaman puluhan tahun, dengan penuh keyakinan menyebut cryptocurrency akan berakhir buruk.
Namun pertanyaan yang sama akan dijawab penuh keoptimisan oleh mereka yang sudah berkutat di sana. "Lima tahun lalu, semua orang juga meragukan bitcoin. Tapi coba lihat sekarang, justru makin kuat" ungkap Panji. Sedangkan Ade menyatakan keyakinannya sambil menunjuk grafik yang menggambarkan harga cryptocurrency yang selalu turun pada awal tahun, untuk kemudian melonjak di tengah dan akhir tahun. Begitu juga Bill yang tak tidak bergeming sedikit pun ketika kami singgung tentang resiko di balik cryptocurrency.
"Saya tidak khawatir. Saya masuk ke dunia cryptocurrency untuk jangka panjang" ucap Bill.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR