Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) bergabung dengan platform supply chain global sebagai langkah mewujudkan ekosistem logistik nasional berbasis blockchain.
Dunia bisnis yang dinamis terus mendorong peningkatan volume perdagangan ekspor impor. Hal itu diikuti oleh tuntutan agar pelayanan dapat dilakukan dengan cepat.
Padahal pemrosesan dokumen pengiriman barang harus melibatkan banyak pihak. Komunikasi point-to-point yang dilakukan oleh pemilik barang dengan pihak-pihak tersebut membuat proses berjalan lambat
"Sementara di sisi lain, Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC) harus memastikan bahwa barang ilegal tidak masuk wilayah NKRI," jelas Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Agus Sudarmadi melalui wawancara virtual dengan InfoKomputer.
Sementara itu, sektor logistik di Indonesia saat ini, menurut Agus, juga harus menghadapi masalah biaya tinggi. “Dalam catatan kami, logistic cost kita itu mencapai hampir 25%,” ujar Agus.
Tahun lalu, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mengungkapkan biaya logistik di Indonesia yang mencapai 24% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp 1.820 triliun per tahun merupakan biaya logistik paling tinggi di dunia. Biaya logistik di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan Malaysia yang hanya 15%, serta AS dan Jepang masing-masing sebesar 10%.
Adanya isu penghubung dalam rantai pasok disebut Agus sebagai salah satu penyebab tingginya biaya logistik. “Ketika kita dapat memangkas ongkos ini, at the end of the day, logistic cost ini kami pastikan bisa turun,” imbuhnya.
Untuk itu, DJBC melihat bahwa penerapan manajemen resiko yang tepat dengan memanfaatkan teknologi adalah salah satu pilihan yang harus diambil, seperti memanfaatkan teknologi Big data dan Artificial Intelligent (A.I).
Pilih Blockchain
DJBC sebagai instansi pemerintah yang memiliki peran dalam rantai pasok global dituntut untuk menjadi fasilitator perdagangan dengan tidak menghambat laju pengiriman barang dan dokumen, untuk itu berkolaborasi dengan ekosistem supply chain global adalah suatu keharusan. Salah satu yang dilakukan baru-baru ini adalah berkolaborasi dengan supply chain global, yaitu TradeLens.
Langkah ini menjadikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia sebagai lembaga pemerintah ketiga di Asia Tenggara yang menggunakan platform digital berbasis teknologi blokchain.
DJBC memilih teknologi blockchain karena keunggulannya berupa sifat yang immutable. Ini sangat dibutuhkan di dunia logistik yang membutuhkan transparansi, tracking, dan keamanan data.
Menjawab pertanyaan "mengapa TradeLens", Agus memaparkan bahwa sistem DJBC bersifat open, terbuka dan siap berkolaborasi dengan siapa saja sepanjang dapat memberikan benefit bagi semua pihak. Saat sekarang memang baru TradeLens, salah satu platform supply chain global, yang berkolaborasi dengan CEISA (sistem IT DJBC ). Namun diharapkan akan segera ada platform-platform berikutnya yang berkolaborasi dengan DJBC.
TradeLens dikembangkan oleh IBM bersama perusahaan logistik global A.P. Moller – Maersk.
Bagaimana Blockchain dapat membantu DJBC menghadapi tantangan saat ini? "Dengan blockchain diharapkan cargo owner dapat melakukan tracking barangnya mulai dari barang di kirimkan dari pengirim (negara asal) sampai diterima di gudang penerima , dan perubahan data atas dokumen dari setiap proses tercatat dan aman dari manipulasi," jelas Agus.
Hal ini akan membantu mempercepat proses customs clearance dan handling di pelabuhan. Pada akhirnya proses yang lebih cepat ini akan memberikan manfaat bagi kecepatan pengiriman barang sehingga dapat menurunkan biaya logistik.
Persiapan dan Sosialisasi
Proses kolaborasi dengan TradeLens dilakukan selama 3 bulan, yang meliputi fase subscription agreements, defining integration model, on boarding process, API development, testing process dan fase production.
Agus menjelaskan bahwa persiapan dalam menerapkan blockchain adalah dukungan dari institusi, penyiapan pengetahuan pegawai, dukungan infrstruktur,dan adanya partisipasi stakeholder
Sistem ini bekerja dengan melibatkan kolaborasi antarpelaku logistik, seperti business cago owner, shipping line , 3PL (third party logistic), transporter, customs authority, dan port authority.
Mengingat adanya sejumlah pihak atau stakeholder yang terlibat, dibutuhkan sosialisasi dalam penerapan sistem berbasis blockchain ini.
"Sosaliasi dilakukan atas prakarsa penyedia platform blockchain delakukan dengan event terbuka yang mengundang seluruh stakeholder di bidang logistic dan perusahaan yang berkecimpung di bidang teknologi informasi," Agus menjelaskan.
Perluas Kolaborasi
Implementasi sistem supply chain global berbasis blockchain di DJBC memungkinkan dunia bisnis memantau pergerakan barang sejak kontainer dipesan sampai customs clearance.
Arus data sudah bisa diperoleh sejak awal dengan tingkat kepercayaan (trust level) tinggi, dan data disebar ke berbagai pihak di dalam ekosistem secara real time sesaat sesudah kontainer meninggalkan pelabuhan keberangkatan. Hal ini akan memberikan Ditjen Bea dan Cukai lebih banyak waktu untuk mempersiapkan penerimaan pengiriman barang. Sehingga, pemeriksaan bea cukai untuk mencegah penipuan dan pemalsuan menjadi lebih efisien serta menyeluruh. Selain itu, proses pencatatan penerimaan cukai menjadi lebih konsisten dan transparan. Transparansi proses logistik pun meningkat.
Menurut Agus, terkumpulnya data-data supply chain logistik nasional ini akan lebih memudahkan Ditjen Bea dan Cukai maupun pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan, memberikan fasilitas, dan melakukan pengawasan. “Ketimbang jika kita melakukannya dalalm sistem yang bersifat siloed,”imbuhnya.
Selanjutnya, menurut Agus, DJBC akan mengembangkan pemanfaatan blockchain ini dengan melakukan kolaborasi dengan platform blockchain logistik lainnya, selain TradeLens. "Dan kami akan memanfaatkan teknologi blockchain sebagai backbone dalam National Logistic Ecosystem," ujar Agus Sudarmadi mengakhiri penjelasannya.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR