Pengguna media sosial di Indonesia terancam tidak bisa menggunakan fitur siaran live di platform mana pun jika perusahaan pemilik layanan, seperti Google dan Facebook, tidak mengantungi izin sebagai lembaga penyiaran.
Pengetatan aturan siaran live ini bakal diterapkan apabila gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran dikabulkan.
Uji materi itu membahas soal layanan video over the top (OTT) atau layanan yang berjalan di atas internet untuk dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran.
Konsekuensinya, jika siaran live di media sosial dikategorikan sebagai penyiaran, maka individu, badan usaha, ataupun badan hukum harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
Seperti diketahui, layanan live, seperti Instagram Live, Facebook Live, dan YouTube Live sangat populer di Indonesia. Selain itu, ada juga layanan live gaming, seperti Twitch dan Nimo TV.
Penggunaan layanan-layanan ini justru sangat meningkat pada masa pandemi ini. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan, usulan tersebut akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah keseluruhan UU Penyiaran.
"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/8/2020).
"Artinya, kami harus menutup mereka (Google, Facebook, dkk) kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.
Itu artinya, perorangan atau badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan perizinan penyiaran akan menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena melakukan penyiaran tanpa izin.
Ramli mengatakan, layanan OTT beragam dan luas, sehingga aturannya cukup kompleks dan tidak hanya dalam satu aturan. Termasuk para pembuat konten siaran lintas batas negara yang tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.
"Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakannya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," ujar Ramli.
Lebih lanjut, Ramli mengatakan bahwa kemajuan teknologi memang menyebabkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR