Penulis: Steven Salaets (CIO, CPO & Executive Vice President bidang Global Security, Facilities, Quality and Internal Audit di Rimini Street)
Automasi merupakan salah satu elemen terpenting transformasi digital, sekaligus pergeseran paradigma yang tengah dilalui sejumlah tim TI. Menurut Brookings Institute, pergeseran ini dapat menggantikan hampir 70% pekerjaan manual dan berulang. Namun demikian, automasi—yaitu perangkat dan praktik yang digunakan untuk melaksanakan tugas, pemrosesan berkelompok, dan alur kerja secara terprogram—sebenarnya bukan hal baru, melainkan telah perlahan-lahan mengubah cara kita berbisnis selama 50 tahun terakhir.
Seperti halnya para CIO lain, saya sedang berupaya mengintegrasikan automasi guna memperoleh hasil bisnis yang lebih baik.
Potensi Automasi
Banyak perusahaan mengandalkan automasi agar dapat bertahan selama krisis COVID-19. Sejumlah bank memanfaatkan automasi untuk mempercepat pemrosesan jutaan permintaan pinjaman yang diajukan oleh bisnis terdampak. Maskapai penerbangan menggunakannya untuk menangani lonjakan pembatalan penerbangan. Peritel beralih dari toko fisik ke bisnis yang sepenuhnya dilakukan secara daring dan mengganti tenaga manusia dengan sistem terautomasi untuk memroses pesanan. Kantor-kantor terpaksa beralih ke sistem kerja jarak jauh dengan cepat dan aktivitas antarmanusia pun berubah menjadi pengalaman digital.
Kendati automasi telah tercakup dalam peta jalan jangka panjang kebanyakan CIO, laporan PwC mengungkap bahwa hampir setengah dari eksekutif TI yang disurvei bermaksud mempercepat rencana automasi mereka karena COVID-19.
Pandemi ini membuat kita tersadar bahwa ekosistem yang tersekat-sekat dan infrastruktur yang statis tidak lagi dapat diandalkan. Dengan adanya tekanan untuk mempercepat inovasi dan pertumbuhan, automasi berpotensi mengintegrasi dan mengautomasi alur kerja lintas fungsi sehingga perusahaan dapat langsung beradaptasi dengan kondisi yang dinamis. Manfaat lain automasi meliputi:
Jalan Menuju Automasi
Terlepas dari manfaat yang berlimpah, automasi bukan proyek mudah. Tanpa strategi yang matang, waktu dan uang Anda bisa terbuang percuma. Berdasarkan laporan Ernst & Young, hampir setengah proyek automasi berujung kegagalan. Menurut saya, kegagalan tersebut disebabkan oleh ekspektasi yang tidak realistis. Kurangnya pemahaman terhadap proses, ditambah ketidaktahuan untuk memulai dari mana, membuat banyak proyek automasi layu sebelum berkembang.
Menyadari nilai potensial automasi, para pemangku kepentingan berambisi mengejar proyek-proyek besar yang fokus pada sejumlah proses paling kompleks di perusahaan tanpa membayangkan langkahnya, mulai dari perancangan dan pembangunan sampai penyampaian hasil. Idealnya, mulai dulu dari yang kecil, lalu perlahan-lahan ke lingkup yang lebih luas. Automasi bukan jenis proyek instan, melainkan membutuhkan kesabaran. Mencapai efisiensi yang nyata dan lebih baik, tentu butuh waktu.
Pada tahap pengadopsian, kebanyakan orang memandang automasi sebagai ancaman. Anggapan bahwa automasi adalah pembunuh lapangan kerja, dan bukan cara untuk merevolusi tempat kerja, disebut sebagai “kecemasan terhadap automasi”. Seiring perubahan perangkat dan proses, kecemasan itu perlu dijawab oleh program automasi sehingga seluruh pihak di perusahan mau menerima ide tersebut dan mengadopsinya.
Saya telah melihat sendiri dampak automasi pada perusahaan saya. Dimulai dari pendekatan yang terfokus pada bisnis serta proyek-proyek kecil tapi bermanfaat, kami berhasil:
Saya memanfaatkan IT Infrastructure Library untuk memetakan proses, lalu fokus pada target yang mudah dicapai. Automasikan hal-hal yang mudah dulu, baik yang berupa satu tugas dalam sebuah proses ataupun satu alur kerja secara keseluruhan. Dengan menggunakan kerangka kerja Agile, Anda dapat mengambil satu proses yang terdiri dari sepuluh tugas lalu mengautomasikan tugas-tugas tersebut satu demi satu sehingga menghasilkan manfaat dengan cepat sekaligus mempertahankan momentum.
Dalam mengkaji lingkup dan kelayakan proyek automasi, saya sarankan Anda fokus pada tiga bidang utama berikut ini:
Inti Automasi
“Automasi atau mati” telah menjadi mandat baru. Para CIO dan manajer TI harus melalui pergeseran paradigma untuk memenuhi mandat ini serta mentransformasi perangkat, proses, dan susunan keahlian TI secara fundamental. Nasihat terpenting yang bisa saya bagikan adalah: jangan lupakan inti dari automasi, yaitu manusia.
Dalam upaya untuk berlari lebih cepat dan makin linear, perusahaan berisiko melupakan keunggulan elemen manusia. Automasi justru harus meningkatkan kualitas tempat kerja, bukan menggantikan tenaga kerja atau bagian terpenting yang memanusiawikan bisnis.
Seiring perkembangan teknologi yang membuat persaingan makin ketat, kemampuan untuk mencapai keseimbangan antara automasi yang objektif dan ekspektasi pelanggan terhadap pengalaman personal yang dapat disesuaikan, akan mengorbitkan perusahaan menjadi pemenang.
KOMENTAR