Presiden Joko Widodo membubarkan dua lembaga yang berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan alasan perampingan birokrasi. Dua lembaga tersebut adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ( BRTI) dan Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT). Langkah ini mendapat kritikan dari pengamat telekomunikasi.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi meminta presiden untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, terutama untuk pembubaran BRTI.
"Terkait pembubaran BRTI, mohon Bapak Presiden dapat mempertimbangkan kembali pembubaran lembaga ini," jelas Heru.
Menurut Heru, keberadaan BRTI sangat penting di industri telekomunikasi dan dibentuk berdasarkan amanat internasional yakni International Telecommunication Union (ITU) di bawah naungan PBB. Pembubaran BRTI, lanjut Heru, juga akan menjadi catatan dunia internasional dan akan mempengaruhi investasi di sektor telekomunikasi.
Mundur 20 tahun Tidak adanya BRTI menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki badan regulasi telekomunikasi "independen". "Independen" di sini merujuk pada peran untuk menjawab perubahan iklim bisnis telekomunikasi dari monopoli ke kompetisi.
Kompetisi membutuhkan adanya lembaga pengatur, pengawas, dan pengendali telekomunikasi yang bebas dari kepentingan pemerintah yang juga memiliki BUMN dan dari kepentingan pelaku usaha lainnya.
"Karena kembali ke era seperti jaman monopoli dulu, pemain telekomunikasi atau investor internasional ketar-ketir jika kompetisi tidak berjalan secara fair karena 'wasitnya' tidak ada lagi," jelas mantan Komisioner BRTI ini.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate mengatakan bahwa peran, tugas, dan fungsi BRTI dan BPT akan dikembalikan ke Kominfo. Meskipun belum ada informasi direktorat atau divisi mana yang akan memegang peran BRTI dan BPT.
"Itu nanti di aturan peralihan, nanti disesuaikan. Ada masa peralihan satu tahun, kita susun dulu," kata Johnny.
Menurut Heru, kembalinya fungsi regulator ke pemerintah membuat industri telekomunikasi Indonesia mundur ke 20 tahun belakang ketika industri dikembangkan secara monopolistik.
Sebab itu, negara tetap perlu adanya lembaga independen yang sebagai "wasit" industri telekomunikasi. "Ini kan isunya banyak, dari tarif, interkoneksi, penomoran, spektrum frekuensi, kualitas layanan, kemudian pengawasan dan pengendaliannya," paparnya.
Usulan lembaga baru seperti FCC Heru berharap agar presiden menganulir pembubaran BRTi dan membentuk lembaga baru yang tidak hanya fokus di sektor telekomunikasi, namun juga multimedia. Sebab, beberapa negara lain saat ini juga tengah memperkuat lembaga regulasinya ke arah multimedia.
"Bahkan, digabungkan dengan Komisi Penyiarannya. Hanya di Indonesia kan UU Telekomunikadi dan Penyiaran dipisah," jelas Heru.
Hal senada juga diungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi. Mantan anggota Komite Regulasi BRTI ini mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga baru.
"Palu sudah diketok, saya pikir lebih baik dicari bentuk yang lebih baik, supaya bentukannya lebih independen," jelasnya.
Idealnya, menurut Ridwan, lembaga pengganti BRTI nantinya tidak di bawah menteri, namun setara dengan menteri. Sementara regulasi, pengendalian, dan pengawasan ada di tangan regulator yang dipilih masyarakat.
Dia mencontohkan lembaga Federal Communications Commission/FCC di Amerika Serikat. Lima komisioner FCC ditunjuk langsung oleh presiden dan disetujui oleh senat Amerika Serikat. Komisioner tersebut bisa berasal dari partai. Hal ini berbeda dengan Indonesia, di mana BRTI, diketuai oleh direktorat jenderal (dirjen) di bawah menteri.
"Bisa jadi Kominfo dipecah, sebagian berubah menjadi regulator, sebagian melakukan fungsi administrasi kebijakan. Regulator dikepalai komisioner yang dipilih masyarakat," jelas Ridwan.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR