Sekitar lima tahun lalu, manajemen Toyota Astra Motor (TAM) memutuskan untuk menyederhanakan operasional bisnisnya. Jika sebelumnya distribusi kendaraan Toyota melibatkan tiga pihak (distributor, main dealer, dan dealer), di sistem operasional baru ini hanya ada distributor dan dealer. Peran main dealer, yang jumlahnya lima dealer, sepenuhnya dilakukan oleh TAM.
Pada titik krusial itu, rotasi pun dilakukan. Darmadi yang sebelumnya di Astra International, dipercaya membantu TAM memuluskan transformasi bisnisnya. Perubahan posisi ini terjadi pada Agustus 2015, sementara transformasi harus berjalan di 1 Januari 2016. “Jadi saya hanya punya waktu empat bulan,” kenang Darmadi sambil tergelak.
Dengan waktu singkat itu, Darmadi harus bisa mengintegrasikan sistem yang digunakan di main dealer ke sistem TAM. Secara prinsip, ada empat aktivitas bisnis utama di TAM. “Yang pertama adalah ordering allocation atau pesanan mobil,” cerita Darmadi. Sistem di TAM harus bisa mencatat pesanan dari konsumen ke dealer, lalu meneruskannya ke manufaktur. Setelah mobil jadi, TAM harus melakukan proses instalasi aksesoris dan mendistribusikan mobil sesuai pesanan. Aktivitas bisnis yang tak kalah penting adalah penyediaan suku cadang dari tiap mobil tersebut.
Baca Juga: Yudi Hamka, Sosok di Balik Akselerasi Transformasi Digital di MNC
Semua aspek tersebut tentu saja menciptakan kompleksitas yang sangat tinggi. Hal ini mengingat Toyota adalah pemimpin pasar mobil di Indonesia, dengan penjualan puluhan ribu mobil tiap bulannya. Belum lagi jika menghitung Toyota memiliki banyak jenis mobil, dan tiap jenis memiliki pilihan tipe dan warna. “Dan itu harus kami distribusikan ke lebih kurang 300 cabang di seluruh Indonesia,” cerita Darmadi.
Saking kompleksnya, tidak ada penyedia solusi ERP yang sanggup membuat sistem yang dibutuhkan dalam waktu empat bulan. Darmadi dan tim pun mengambil langkah berani: membuat sistem sendiri. “Tidak lucu jika bisnis tidak jalan karena IT tidak bisa support,” cerita Darmadi menggambarkan isi pikirannya kala itu.
Sistem pun dibuat dengan prinsip yang saat ini populer disebut dengan agile development. “Kita buat basic function dulu, yang penting bisnis jalan,” cerita pria lulusan Universitas Trisakti ini. Setelah itu, pelan-pelan sistem ditingkatkan, mengikuti filosofi Toyota yaitu kaizen (yang artinya perbaikan kontinu).
Kini setelah lima tahun berjalan, sistem yang dibuat Darmadi dan tim pun terbilang sangat modern. Contohnya VIN (Vehicle Identification Number) yang kini sudah sepenuhnya terintegrasi. “Kalau dulu, setiap sistem memiliki VIN Number sendiri-sendiri,” ungkap Darmadi. Begitu pula dengan pemanfaatan teknologi automation, cloud, dan juga Artificial Intelligence (AI).
Fokus pada Bisnis
Cerita di atas sedikit banyak bisa menggambarkan visi Darmadi dalam menempatkan fungsi teknologi informasi ke dalam organisasi bisnis. Menurut Darmadi, ada dua prinsip yang ia pegang berdasarkan pengalamannya 24 tahun bekerja di dunia teknologi informasi. “Yang pertama adalah bagaimana IT harus bisa mendukung bisnis, dan bukan menjadi batu sandungan,” ungkap Darmadi. Prinsip kedua adalah mengedepankan cost benefit, ketika setiap investasi di teknologi harus diperhitungkan dari sisi biaya dan manfaatnya.
Prinsip itu pula yang Darmadi pegang ketika ditanya inovasi apa yang disiapkan untuk menjawab tantangan TAM di masa depan. Jika ditilik, tantangan jangka pendek di TAM adalah kompetisi yang semakin ketat di industri otomotif roda empat. Untuk menjawab tantangan tersebut, Darmadi melihat pentingnya tim TI TAM untuk dapat meningkatkan peranan data. “Karena yang memenangkan bisnis adalah mereka yang berhasil memanfaatkan data,” ungkap pria yang hobi melakukan explorasi and travelling.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR