Penulis: Shain Singh, 5G & Cloud Security Architect APCJ, F5 Melbourne, Australia
Pesona dan potensi 5G telah menarik perhatian pemerintah dan perusahaan yang ingin memanfaatkan teknologi.
Konektivitas jaringan internet sedang menuju transformasi besar karena peluncuran jaringan 5G semakin intensif dan cepat di seluruh Asia Pasifik (APAC), terutama di tengah pandemi yang sedang berlangsung tahun ini. Namun, dalam hal skala, cakupan, dan yang terpenting keamanan, menerapkan infrastruktur 5G akan menjadi tugas yang paling menantang untuk generasi mendatang dalam mengembangkan jaringan.
Sebuah analogi, Anda menerima pemberitahuan mutasi ke kantor cabang lain perusahaan Anda. Dan dalam enam bulan ke depan, Anda akan dipindahkan ke negara lain untuk mengembangkan bisnis. Anda sekarang hanya memiliki setengah tahun untuk menguasai bahasa asing dan mengetahui budaya yang berbeda. Inilah situasi dan masalah yang akan dan dihadapi banyak penyedia telekomunikasi ketika harus beralih dari jaringan 3G/4G ke 5G, menguasai "bahasa" 5G.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut tahun 2020 sebagai tahun implementasi 5G, didorong oleh persyaratan sektor korporasi dan kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga ASEAN yang telah menyiapkan infrastruktur 5G. Terlepas dari topografi Indonesia yang menantang, pemerintah bertekad untuk mempercepat pengembangan Indonesia sebagai pusat teknologi. Pertama, dengan meluncurkan roadmap Making Indonesia 4.0 pada tahun 2018 sebagai langkah awal. Hadirnya 5G di Indonesia berpotensi untuk memodernisasi semua industri, termasuk memperkuat ekosistem startup yang dinamis di Indonesia.
Disamping itu, masyarakat juga menantikan perkembangan ibu kota baru di Kalimantan yang dipromosikan sebagai kota baru yang futuristik dan mengusung konsep green smart city. Presiden Joko Widodo telah menyampaikan keinginannya agar kota pintar ini didukung oleh infrastruktur ICT terkini, termasuk 5G.
Penyedia telekomunikasi lain di pasar APAC juga mendorong rencana pengembangan jaringan 5G mereka. Pada tahun 2019, Rakuten Mobile dari Jepang meluncurkan jaringan seluler 5G cloud-native "pertama di dunia" yang sepenuhnya tervirtualisasi, dan Robi Axiata dari Bangladesh adalah satu-satunya operator seluler yang berhasil menguji 5G dan meluncurkan teknologi Voice Over LTE pertama di pasar.
Seiring dengan laju perkembangan 5G, penyedia telekomunikasi dihadapkan dengan tantangan "bagaimana mereka dapat mengembangkan jaringan mereka, jika mereka masih dalam tahap pembelajaran dan mencoba memahami pengetahuan dasar jaringan 5G?".
Memahami Struktur Teknologi 5G
Meskipun 5G dikatakan mampu memberikan kecepatan hingga 100 kali bandwidth dibanding generasi sebelumnya, jaringan berbasis perangkat lunak dan berkinerja tinggi ini membutuhkan perlindungan yang memadai terhadap kerentanan dan ancaman baru di setiap tingkatan.
Dalam studi global yang dilakukan oleh Accenture baru-baru ini, 35 persen pembuat keputusan bisnis dan teknologi menyatakan kekhawatiran mereka seputar keamanan 5G. Sementara 62 persen percaya bahwa 5G akan membuat mereka lebih rentan terhadap serangan siber, dan 74 persen responden mengatakan bahwa mereka berharap dapat mengetahui kebijakan yang pasti dan prosedur keamanan saat menerapkan 5G.
Kekhawatiran di sisi keamanan ini sangatlah beralasan. Transisi ke 5G mungkin mengharuskan perusahaan mengubah seluruh struktur jaringan mereka. Faktor besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan seberapa cepat penyedia layanan dapat menyusuri wilayah yang belum terjangkau akan menentukan keunggulan kompetitif dan profitabilitas mereka. Ada banyak faktor yang berperan ketika sebuah bisnis melakukan migrasi jaringan mereka untuk dapat mengakomodasi ekspektasi akan kinerja yang meningkat, fitur terbaru, dan keamanan secara menyeluruh ke banyak perangkat dan aplikasi yang didukung oleh 5G.
Menguasai Bahasa Pemrograman Baru
Salah satu ancaman keamanan yang membayangi penerapan 5G adalah peningkatan serangan distributed denial-of-service (DDoS). Dengan menargetkan jaringan perangkat yang terhubung ke internet, serangan DDoS diketahui menurunkan layanan dan mengekspos data pribadi dari pengguna dengan memberikan traffic yang berlebihan ke server, di mana dampaknya akan merugikan bisnis dan pengguna.
Dengan IDC memperkirakan 41,6 miliar perangkat Internet of Things (IoT) akan terhubung pada tahun 2025, ancaman serangan DDoS di era 5G lebih terekspos dari sebelumnya. Karena jumlah perangkat yang dilindungi berlipat ganda, otomatisasi akan menjadi pembahasan 5G.
Seperti apa otomatisasi ini dapat terlihat? Bisnis selalu membutuhkan platform keamanan yang memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan teknik machine learning sehingga dapat memberikan visibilitas penuh dan wawasan real time untuk dapat menangani masalah keamanan seperti serangan DDoS dengan lebih cerdas. Komunikasi real time antara perangkat teknologi dan wawasan yang dapat ditindaklanjuti akan menjadi kunci dalam meminimalisasi ancaman tersembunyi yang muncul di antara pencegahan dan mitigasi serangan keterlambatan dalam mendeteksi dan mengurangi serangan, sehingga mengurangi waktu henti, dan memastikan ketersediaan jaringan.
Dalam laporan F5 tentang Status Layanan Aplikasi 2020: Edisi Telekomunikasi, untuk mewujudkan 5G, kami menemukan bahwa 91 persen penyedia layanan telekomunikasi telah terlibat dalam transformasi digital dengan mengadopsi cloud, automation and orchestration, dan network function virtualization (NFV). Hal ini akan membantu memaksimalkan investasi yang substansial dalam jaringan mereka saat ini sambil mengoptimalkan infrastruktur mereka untuk dapat meluncurkan jaringan 5G mereka dengan cepat.
Dengan otomatisasi, bisnis dapat mengikuti skala yang diperlukan untuk dapat meluncurkan infrastruktur jaringan 5G mereka sambil mendorong efisiensi dan kecepatan untuk ketersediaan produk dan layanan baru.
Meningkatkan Kemampuan "Bahasa" 5G
Di dunia yang semakin bergantung pada teknologi nirkabel, 5G menghadirkan berbagai peluang untuk bisnis, dan akan menjadi tulang punggung digital di masa depan. Infrastruktur broadband ultra-high generasi berikutnya yang berada dimanapun ini tidak hanya akan meningkatkan mobilitas dan konektivitas, tetapi juga merupakan langkah-langkah transformasi untuk dapat memenuhi skala dan kompleksitas permintaan konsumen akan pengalaman digital yang terus berkembang.
Memperoleh kemahiran dalam "bahasa" 5G bukanlah tugas yang mudah. Ini akan bergantung pada penyedia layanan telekomunikasi yang mendapatkan pemahaman penuh tentang jaringan dan potensi kerentanannya akankah mampu mengamankan jaringan dengan benar untuk mengaktifkan dan menjalankan kemampuan 5G secara maksimal. Dan perjalanan ini dimulai dengan mempelajari dan menguasai "bahasa" baru dari mobilitas jaringan.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR