Penulis: Gaurav Srivastava, Head of Customer Intelligence (CI) for ASEAN, SAS
Pengalaman pelanggan menjadi mantra bagi para pemasar saat ini, saat perilaku konsumen berubah dari semula berbelanja secara tradisional di toko fisik menjadi meneliti, memilih dan membeli produk secara online. Para pemasar berusaha menjangkau pelanggan pada setiap titik kontak (touchpoint) di sepanjang proses pemesanan, berharap dapat menyajikan pengalaman yang lebih personal yang tidak hanya mencetak penjualan tetapi juga membuat pelanggan datang kembali.
Hal ini bertujuan mengenal pelanggan seutuhnya sehingga pemasar dapat membuat mereka tidak saja menjadi loyal, tapi juga menjadi perpanjangan tangan perusahaan untuk menjangkau pelanggan-pelanggan baru, dan ini adalah bentuk "iklan" yang paling bernilai tinggi.
Artinya, membangun hubungan baik dengan pelanggan tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa mendatang. Di dunia yang cepat berubah dan semakin digital ini, membangun hubungan pelanggan yang kuat adalah kunci untuk membangun bisnis yang besar saat ancaman global seperti kerusuhan politik, kehancuran ekonomi, atau pandemi, makin sering terjadi.
Bagaimana sebuah perusahaan/pemegang merek dapat menjalin hubungan jangka panjang dengan pelanggannya dan bagaimana cara mengukur nilainya?
Sebuah studi global baru yang berjudul Experience 2030: The Future of Customer Experience memberikan wawasan tentang pikiran konsumen di masa depan dan tindakan yang dapat diambil pemegang merek saat ini untuk tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang.
Temuan utama dari studi ini adalah bahwa pada tahun 2030, 67% interaksi pelanggan digital antara merek dan konsumen akan diselesaikan oleh mesin pintar, bukan manusia. Dan pada tahun 2030, 69% dati keputusan dalam interaksi pelanggan yang saat ini masih dibuat oleh manusia akan dilakukan oleh mesin pintar.
Menurut laporan tersebut, perusahaan/ pemegang merek berinvestasi besar-besaran pada teknologi baru untuk menghadapi perubahaan saat ini. Misalnya, 54% dari merek berinvestasi pada teknologi augmented reality dan virtual reality (AR / VR) untuk membantu konsumen memvisualisasikan tampilan atau cara penggunaan produk atau layanan dari jarak jauh. Dan 53% merek menggunakan teknologi AR / VR untuk meningkatkan penggunaan produk dan bantuan mandiri.
Tidak diragukan bahwa teknologi cerdas akan mampu mengumpulkan miliaran data pelanggan dari berbagai kanal daring dan mengekstraksi insight bernilai dari data tersebut dengan cepat dan presisi.
Analisis yang dihasilkan dari “harta karun” data tersebut memfasilitasi berbagai jenis pengukuran yang diinginkan oleh jajaran C-Suite untuk melihat hasil pemasaran. Pengukuran yang akan mengkorelasikan investasi dan hasil bisnis secara nyata. Saat ini laba atas investasi lebih penting dibanding sebelum pandemi Covid-19 karena terjadi pengetatan anggaran di seluruh kawasan Asia Pasifik
Jenis pengukuran ini meliputi:
Metrik perusahaan menggabungkan data keuangan dan pasar yang tersedia untuk menghubungkan antara interaksi pelanggan dan kinerja operasional dengan total pendapatan dan pendapatan bersih perusahaan. Contoh metrik tersebut seperti pendapatan, pertumbuhan, margin, pangsa pasar dan wallet share (seberapa besar biaya yang dikeluarkan pelanggan untuk membeli produk tertentu dibandingkan kompetitor), serta ukuran produktivitas lainnya. Semua metrik ini berada dalam satu kesatuan dan sering kali menjadi hal terpenting yang sangat diperhatikan oleh tim eksekutif.
Pendekatan ini cukup komprehensif untuk metrik pemasaran dan sangat direkomendasikan untuk dipelajari dan diadopsi oleh perusahaan regional, terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Tujuan mengukur pengalaman pelanggan bisa dipahami dengan baik, karena kita tidak bisa meningkatkan kinerja bisnis jika tidak mampu mengukurnya. Namun, karena karakter industri ritel mudah berubah dan perilaku pelanggan semakin kompleks dan rumit, maka survei kepuasan pelanggan yang sederhana tidak lagi bisa memberikan wawasan yang dibutuhkan bagi perusahaan/pemegang merek untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.
Hal terpenting yang harus diperhatikan bagi pemasar adalah konsumen tidak ingin merasa menjadi obyek penjualan. Mereka ingin dianggap sebagai mitra perusahaan di mana mereka menjadi konsumen, mereka ingin merasa dipahami, didengarkan, dan dihargai. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa kemajuan teknologi untuk pemasaran tidak membuat hubungan dengan pelanggan menjadi negatif atau mengurangi personalisasi dalam hubungan.
Misalnya, sebuah studi penelitian menemukan bahwa meskipun penggunaan chatbot meningkat, sebagian besar konsumen tetap menginginkan interaksi manusia. Terlepas dari kenyamanan layanan 24 jam, responden penelitian secara konsisten mengatakan obrolan langsung dengan manusia lebih disukai daripada bicara dengan chatbot karena berbagai alasan, termasuk kenyamanan, kemudahan komunikasi, dan pengalaman pelanggan yang baik.
Analisis data memiliki kemampuan yang sebelumnya tidak ada dalam memberikan wawasan yang mendalam, dan jika dilakukan dengan benar, akan memberikan pengalaman yang dapat meningkatkan hubungan dengan pelanggan. Namun, kapabilitas ini tidak boleh membuat pelanggan merasa bahwa mereka adalah subyek eksperimen digital.
Saat organisasi menetapkan kerangka kerja pengukuran pengalaman untuk memetakan perjalanan pelanggan mereka, yang harus dicapai adalah mendapatkan data dan informasi detil terkait pelanggan atau disebut customer intelligence. Tim pemasaran harus dengan cermat mengidentifikasi titik kontak yang meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan dan mengembangkan metrik untuk setiap interaksi penting.
Tujuannya adalah untuk benar-benar memahami pelanggan, dan itu berarti wawasan yang diperoleh dari pengukuran ini tentang pelanggan dapat ditindaklanjuti dan harus melampaui tujuan jangka pendek atau tingkat percakapan yang lebih tinggi. Dengan banyaknya data yang dapat diambil dari pelanggan - dari penelusuran dan perilaku dalam melakukan klik, menanggapi email, keputusan pembelian dan lainnya, ada banyak potensi yang bisa digali lebih dalam untuk memahami pelanggan.
Dengan keputusan pembelian yang lebih sering didorong oleh emosi daripada logika, kemampuan analisis data untuk mengukur sentimen membawa serta banyak kemungkinan bagi merek untuk membangun hubungan empati dengan pelanggan mereka, dan membawa personalisasi ke tingkat berikutnya.
Pada akhirnya, kuncinya adalah menyeimbangkan hasil pengukuran sambil memenangkan hati pelanggan.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR