Penerapan Artificial Intelligence (AI) semakin marak di berbagai bidang. Salah satu yang mulai banyak dilirik perusahaan saat ini adalah memadukan AI dan data analytics untuk mengatasi kejahatan finansial.
Indonesia disebut sebagai target penipuan iklan terbesar kedua di Asia Tenggara, setelah Thailand, karena skala dan volume belanja iklan yang besar di negara ini. Menurut survei yang dirilis oleh Mobile Marketing Association (MMA) dan perusahaan teknologi multinasional Integral Ad Science (IAS), Indonesia bisa kehilangan hingga Rp 1,17 triliun (setara US$120 juta) akibat penipuan iklan dalam pemasaran digital tahun ini. Tingginya tingkat penipuan ini tak lepas dari tingkat penetrasi seluler yang signifikan di Indonesia, juga penggunaan metode pembayaran elektronik yang tinggi, dan pengeluaran yang tinggi untuk pemasaran digital dan seluler.
Managing Director SAS di Indonesia, Febrianto Siboro, menjelaskan bahwa kasus penipuan di Indonesia masih didominasi oleh kartu kredit dan kartu debit, serta pembayaran melalui ATM, point of sale dan e-commerce. Menurut survei, para penipu ini secara khusus membidik industri e-commerce, teknologi keuangan, game, dan fast moving consumer goods (FMCG).
“Selain itu, bentuk penipuan yang paling umum terjadi adalah manipulasi psikologis, yaitu cara mendapatkan uang dengan memanfaatkan kelemahan psikologis seseorang untuk mendapatkan data pribadinya. Mereka dapat memanipulasi orang untuk mempercayai mereka sehingga orang akan memberikan informasi rahasia, seperti kata sandi yang digunakan untuk memverifikasi pembayaran yang seringkali tanpa disadari. Semua ini adalah masalah serius dan organisasi bisnis perlu mengadopsi praktik tertentu untuk menghindari penipuan digital dan efek samping dari ancaman tersebut,” tutur Febrianto Siboro saat dihubungi Info Komputer (25/1).
Yang lebih mengerikan adalah laporan GBG Research terbaru tentang “Future-proofing Fraud Prevention in Digital Channels: an Indonesian FI Study” menunjukkan bahwa tingkat kejahatan penipuan digital di Indonesia tidak menunjukkan penurunan. Menurut Febrianto, penipuan digital tidak dianggap sebagai kejahatan tunggal yang berbeda, tetapi mencakup serangkaian tindakan ilegal dan terlarang yang dilakukan di dunia maya.
“Konsumen era baru menghabiskan lebih banyak waktu di ‘platform virtual’ dan lebih memilih percakapan digital. Selama sembilan bulan terakhir, tren ini semakin cepat, karena pandemi Covid-19 telah mengubah cara konsumen berinteraksi dengan layanan keuangan dan perdagangan. Di tengah lock down dan social distancing yang didorong oleh virus corona, aplikasi seluler, belanja online, dan pembayaran tanpa kontak telah mendorong rekor penjualan e-commerce. Hal ini membuat bisnis tetap bertahan selama krisis tetapi juga menyebabkan peningkatan frekuensi upaya penipuan. Jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sebesar 25 juta atau lebih dari 17% antara tahun 2019 dan 2020. Basis pelanggan baru ini telah siap untuk menikmati pengalaman tanpa uang tunai dan tanpa batas, tetapi rentan terhadap serangan penipu, seperti penipuan phishing, pencurian identitas atau pengambilalihan akun pihak ketiga,” paparnya panjang lebar.
Selanjutnya Febrianto Siboro menganjurkan pemanfaatan data dan analisis tingkat lanjut (advanced) untuk mengatasi penipuan digital dan kejahatan finansial. Sebagai langkah awal yang penting adalah mulai memroses aliran data dari semua titik masuk pembayaran secara real time. Langkah lain adalah menggabungkan manajemen identitas dan pemantauan transaksi bukan hanya untuk penipuan identitas yang telah terjadi, tetapi untuk menghentikannya bahkan sebelum itu terjadi.
“Kemampuan analitik penipuan digital kami menggabungkan orkestrasi data yang digerakkan oleh AI. Teknologi SAS menggabungkan beberapa metode analitik dengan kecerdasan buatan yang disematkan dan kemampuan pembelajaran mesin untuk menilai risiko aplikasi akun baru, mengungkap data yang dicuri dan identitas yang dimanipulasi lebih awal dari sebelumnya,” jelas Febrianto.
Dengan cara ini, organisasi akan terbantu dalam mengambil tindakan pencegahan dan melawan penipuan dengan lebih efisien. Penggunaan analisis data yang canggih dan machine learning dapat memantau akun dan transaksi untuk perilaku yang mencurigakan sehingga sistem dapat mengidentifikasi kemungkinan ancaman pengambilalihan akun.
“Dengan membawa data pihak ketiga seperti biometrik, ID digital, dan menerapkan berbagai teknik deteksi, membantu lembaga keuangan menemukan lebih banyak penipuan digital di berbagai saluran, termasuk perbankan online, seluler, dan kabel,” katanya lagi.
Febrianto mengingatkan jika organisasi dan lembaga keuangan tidak menemukan cara untuk mencegah penipuan, ada risiko kehilangan kredibilitas dan kepercayaan konsumen yang akan dialami organisasi. Risiko semacam itu juga akan menghalangi perusahaan untuk sepenuhnya memanfaatkan platform digital Di sisi lain, investasi pada keamanan digital akan menjadi pembeda pasar, yang akan menciptakan nilai bisnis bagi perusahaan yang bersikap proaktif.
“Peretas terus mengembangkan berbagai strategi untuk mengidentifikasi dan mengeksploitasi kelemahan dan kerentanan sistemik. Beberapa jenis penipuan digital yang paling umum termasuk malware, phishing, kartu tidak ada, kartu palsu, dan pengambilalihan akun,” jelas Febrianto.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR