Pandemi COVID-19 memberikan pukulan telak kepada berbagai sektor industri di Indonesia, termasuk sektor FMCG. Para pakar menyarankan pelaku industri melakukan langkah ini.
Secara umum, dampak terbesar dirasakan pada industri manufaktur, otomotif, dan industri besar lainnya dengan tingkat kontraksi hingga 60% - 70%, menurut Sugi Purnoto, Senior Consultant Supply Chain Indonesia.
Selain itu lini bisnis consumer goods juga termasuk sebagai salah satu bisnis yang ikut terdampak, terutama pihak ritel dan distributor.
Dalam sebuah acara bertajuk Interview The Expert Paper.id berusaha memperolej gambaran dan lansekap yang jelas tentang kondisi di lapangan saat ini dengan mewawancari beberapa pelaku bisnis di sektor Fast Moving Consumer Goods (FMCG).
Grosir dan Retailer Terdampak Paling Signifikan
Berbicara dengan principal, Paper.id mengungkapkan bahwa sejumlah principal mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Rikat Raksamiharja, Distribution Development Associate Manager Nutrifood mengaku, kalau ada beberapa jenis produk mereka yang justru mengalami kenaikan dalam tingkat permintaan dari konsumen.
Namun di sisi lain, Rikat melihat, dampak terburuk justru dialami pihak grosir dan peritel. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat grosir dan retailer tidak dapat menjalankan usahanya secara normal. Terkadang, mereka harus menutup toko sepenuhnya atau mengikuti tanggal ganjil/genap sesuai nomor toko.
Selain itu, permasalahan lainnya yang juga dialami adalah pembayaran piutang yang tidak lancar. Hal ini akibat penurunan daya beli konsumen yang sekarang lebih selektif dalam belanja. Akibatnya, pihak grosir atau retailer mengalami penurunan dalam pemasukan dan tidak dapat membayar distributor.
Terkait masalah ini, sejumlah pelaku usaha memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengatasinya. Varend, Sr. Trade Marketing Manager, PT. Mondelez International mengatakan bahwa perusahaan harus memiliki manajemen Account Receivable (AR) yang baik dalam mengelola penagihan piutang usaha, terutama dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem Pareto untuk melakukan mapping akan masalah yang ada sehingga, bisa segera mengatasinya. Sebagai contoh, distributor bisa melakukan follow up dan mengingatkan retailer besar untuk kondisi finansial yang lebih baik secara konsisten. Selain itu, distributor juga bisa fokus dalam melakukan penagihan secara digital selama pandemi, mengingat tim sales mereka tidak bisa datang ke toko-toko.
Sementara Budiman Goh, COO Enesis, melihat bahwa masalah yang dialami oleh grosir/retailer dalam pembayaran piutang kepada distributor bisa diselesaikan dengan invoice financing.
“Hal ini bisa menjadi peluang bagi institusi-institusi P2P lending untuk masuk kesana dan membantu mereka walaupun butuh edukasi khusus dalam proses implementasinya agar berjalan lancar," tuturnya.
CEO Paper.id, Jeremy Limman menyarankan para distributor memerhatikan beberapa hal guna mengatasi arus kas yang macet, seperti memetakan barang apa yang paling dibutuhkan masyarakat, menetapkan harga sesuai dengan potensi pasar saat ini, dan tidak menimbun produk yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, Jeremy juga juga menyarankan para distributor tegas dalam membatalkan pesanan yang tidak memungkinkan, mulai melek dengan digitalisasi dan penggunaan transaksi online, memberikan promosi, hingga sesekali memberikan donasi kepada para tenaga medis atas support buat garda terdepan.
Langkah Selepas Pandemi
Para pelaku bisnis di industri FMCG memprediksi bahwa proses recovery dipastikan akan berjalan dengan lambat, meskipun dunia sudah pulih selepas pandemi berakhir. Budiman Goh memprediksi bahwa industri FMCG akan mengalami rebound hanya sebesar 80%.
Varend mengutarakan bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan selepas pandemi. Pertama, perubahan perilaku konsumen. Semasa pandemi, terjadi perubahan pola konsumsi konsumen mengikuti keadaan yang sedang terjadi. Riset Nielsen menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 mengubah perilaku konsumen yang lebih fokus kepada produk personal care seperti kesehatan, makanan dan kebersihan serta peningkatan akses ke marketplace untuk berbelanja kebutuhan mereka. Tren tersebut diprediksi tetap akan bertahan selama 2021, mengingat pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai.
Terakhir, digitalisasi perlu dilakukan bagi perusahaan yang belum melakukannya. Varend menilai, pandemi menjadi sebuah “alarm” yang menyadarkan para pengusaha bahwa mereka perlu meningkatkan produktivitas dengan pengadopsian teknologi dalam kinerja mereka. Dengan begitu, tenaga kerja yang ada dapat terdistribusi dengan baik sesuai dengan sasarannya.
Baru Dirilis, Begini Cara Cisco AI Defense Amankan Transformasi AI di Perusahaan
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR