Pandemi yang terjadi dalam setahun terakhir telah memukul banyak industri, termasuk industri waralaba (franchise). Seperti bisa ditelusuri di deretan berita di Kontan ini, mayoritas pelaku industri waralaba mengalami penurunan pendapatan yang signifikan akibat pandemi.
Hal ini pun diakui oleh Levita Ginting Supit (Ketua Komite Tetap Bidang Waralaba, Lisensi & Kemitraan, KADIN Indonesia). Dalam wawancara khusus dengan InfoKomputer, Levita menunjuk pandemi telah mengubah perubahan perilaku konsumen.
Sebelum pandemi, konsumen dapat langsung mengunjungi gerai-gerai waralaba favoritnya untuk mendapatkan produk yang diinginkan. Namun saat pandemi, perilaku seperti itu berkurang drastis. Selain karena pembatasan yang dilakukan pemerintah, konsumen juga ragu untuk melakukan aktivitas keluar rumah.
“Semua itu membuat perubahan perilaku konsumen, seperti misalnya dalam berbelanja, cara membayar, cara melihat-lihat produk, yang semua pada akhirnya dilakukan melalui online,” ujar Levita.
Saatnya Beralih ke Online
Untuk menjawab tantangan tersebut, para pelaku usaha waralaba pun harus beradaptasi dan bertransformasi dengan memanfaatkan teknologi digital. “Itu perlu dilakukan jika ingin bisnisnya tetap survive atau maju di masa pandemi ini,” cetus Levita.
Dari pengamatan Levita, pelaku di industri waralaba sudah berusaha melakukan transformasi digital ini. Yang membedakan adalah skala transformasi yang dilakukan. “[Transformasi] Ini tergantung kemampuan masing-masing bisnis. Kalau bisnisnya besar, mereka membuat platform sendiri. Namun kalau bisnisnya kecil atau menengah, mereka menggunakan platform online yang ada sekarang seperti GoFood atau GrabFood,” papar wanita yang telah berkecimpung di dunia waralaba selama 20 tahun tersebut.
KADIN sendiri melalui asosiasi-asosiasi terkait juga aktif mensosialisasikan transformasi digital ini kepada para pelaku usaha waralaba dan UMKM. “Kami sudah ke beberapa daerah juga mensosialisasikan tentang platform online karena ini bisa jadi salah satu strategi marketing dari franchise. Melalui platform online ini, bahkan produk kita bisa diketahui oleh seluruh konsumen seluruh Indonesia,” ujar Levita.
Levita berpendapat, transformasi digital ini memang harus diinisiasi pelaku industri waralaba, utamanya di sisi pewaralaba. Mengharapkan pihak luar, seperti pemerintah, tidak akan menjawab tantangan ke depan. “Karena kebutuhan pelaku bisnis berbeda-beda, tidak bisa dipukul sama rata. Contoh, kebutuhan untuk platform online di supermarket dengan restoran dan salon akan beda. Masing-masing bisnis punya kebutuhan sendiri-sendiri,” tutur Levita.
Halaman berikutnya: tantangan transformasi digital industri waralaba
Tantangan Transformasi Digital
Levita mengakui, transformasi digital di industri waralaba tidaklah mudah. Berdasarkan pengalaman selama ini, setidaknya ada tiga tantangan utama yang harus dijawab pelaku industri waralaba.
Tantangan pertama adalah pemahaman akan teknologi. Tantangan ini muncul karena tidak semua pelaku usaha waralaba terbiasa menggunakan platform online sebelum pandemi. “Jadi memang pemahaman yang harus mereka cari tahu lagi, harus pelajari. Memilih platform online mana yang ingin mereka gunakan yang sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka,” tukas Levita.
Tantangan berikutnya adalah di sisi sumber daya manusia. Pelaku industri waralaba harus mempersiapkan SDM yang dapat mengelola platform digital ini. Sedangkan tantangan ketiga adalah di sisi modal. Pasalnya, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaku bisnis waralaba dalam menggunakan platform online, mulai dari belanja teknologi dan perangkat pendukung.
“Menurut saya, tiga tantangan ini menjadi satu kesatuan. Kalau tiga tantangan ini bisa disiapkan [oleh pelaku di industri waralaba], tentunya akan menjadi sebuah senjata untuk memajukan dan mempromosikan bisnis mereka,” ungkapnya lagi.
Meski tantangannya terbilang kompleks, Levita mendorong para pelaku di industri waralaba untuk segera memulai langkah melakukan transformasi digital. “Paling tidak, gunakan teknologi digital untuk penjualan produk itu sudah harus lebih dulu. Kalau yang lain-lainnya, itu bisa menyusul,” ungkap Levita. “Ini perjalanan panjang, jadi harus dicapai dengan bertahap, satu demi satu,” ujarnya.
Masa Depan: Kombinasi Online dan Offline
Setelah setahun pandemi, kondisi industri waralaba mulai menggeliat. Saat ini sudah ada pewaralaba yang membuka gerai fisik baru, memanfaatkan kondisi ekonomi yang berangsur pulih. Namun Levita melihat, platform digital tetap menjadi bagian penting perjalanan industri waralaba ke depan.
“Berdasarkan hasil survei saya, setiap gerai baru yang dibuka, secara otomatis menggunakan platform online. Dan hasilnya, penjualan produk terbesar mereka dapat melalui online,” ungkap Levita. Dengan kata lain, platform gerai fisik dan digital tidak akan saling bertabrakan, bahkan akan saling mendukung.
“Karena platform offline membutuhkan online, sedangkan online akan membentuk sesuatu yang offline. Jadi itu suatu kolaborasi yang baik untuk memajukan suatu bisnis,” kata wanita yang juga memiliki bisnis waralaba di bidang restoran, kecantikan, dan spa tersebut.
“Sekarang adalah eranya digital. Artinya, jika ingin memajukan bisnisnya, pelaku usaha waralaba harus mengikuti eranya. Kita jangan melawan arus. Jadi apa permintaan pasar, kita harus siapkan permintaan pasar tersebut,” imbuh Levita.
Pendek kata, transformasi digital industri waralaba sudah tidak bisa ditawar lagi.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR