Di dalam mall yang gelap dan tidak beroperasi, kesibukan masih tampak di dalam gerai Body Shop Indonesia. Meski tanpa pendingin udara, pegawai toko tetap sibuk menawarkan produk kepada pelanggan melalui Whatsapp. Jika terjadi transaksi, pegawai toko langsung bergegas ke luar mall dan mengirimkan pesanan pelanggan melalui jasa ojek online.
Cerita itu diungkapkan Aryo Widiwardhono (CEO Body Shop Indonesia) saat mengenang situasi awal pandemi tahun lalu. Karena aturan PSBB, semua mall harus berhenti beroperasi. Artinya, 2/3 dari toko The Body Shop Indonesia (TBSI) harus menghentikan operasionalnya. Di tengah kondisi sulit tersebut, muncul inisiatif membuka kanal penjualan via Whatsapp.
Peluang itu muncul karena sebelum pandemi, pegawai toko TBSI sudah memiliki kedekatan tersendiri dengan pelanggan, termasuk berkomunikasi via Whatsapp. “Jadi inisiatif ini memang lahir dari insight pegawai kami yang selama ini memiliki engagement yang erat dengan pelanggan,” cerita Aryo.
Kala itu, manajemen TBSI membolehkan sekitar 100 nomor digunakan untuk mengirimkan pesan ke pelanggan. Namun untuk menghindari dampak negatif, penjualan via Whatsapp kini dipusatkan ke satu nomor (0819-2222-399).
Melangkah ke Omni Channel
Cerita Aryo di atas sedikit banyak menggambarkan tantangan yang dihadapi perusahaan retail seperti TBSI saat pandemi. Penjualan dari gerai yang selama ini menjadi sumber transaksi utama, jumlahnya berkurang drastis akibat pandemi. “Menghadapi situasi seperti itu, kreativitas dan survival attitude menjadi modal kami,” cerita Aryo.
Sejak tahun 2013, TBSI sebenarnya sudah memiliki kanal penjualan online melalui situs thebodyshop.co.id. TBSI juga telah memiliki kanal resmi di lima e-commerce terbesar di Indonesia. “Namun kontribusi selama ini [sebelum pandemi] masih kecil, hanya sekitar 3,3%,” cerita Aryo.
Baru setelah pandemi, kanal penjualan online mengalami peningkatan signifikan. Nilai transaksi meningkat 170%, sehingga kontribusi penjualan online terhadap total penjualan menjadi 13,5%. “Itu tidak termasuk penjualan melalui Whatsapp karena itu dihitung penjualan via toko,” ungkap pria yang memimpin TBSI Indonesia sejak lima tahun terakhir ini.
Kini ketika mal kembali dibuka, penjualan via toko fisik perlahan mendekati normal. Meski begitu, Aryo melihat ranah digital akan menjadi bagian penting dari perjalanan TBSI ke depan.
“Kami sebenarnya telah mempersiapkan transformasi digital sejak 2,5 tahun lalu, jauh sebelum pandemi,” ungkap pria yang memiliki hobi lari ini. Namun proses transformasi digital mengalami percepatan karena pandemi telah mengubah perilaku konsumen secara signifikan.
Transformasi ini memang tidak mudah bagi TBSI yang selama 29 tahun mengandalkan penjualan melalui gerai. “Kami tahu bagaimana cara mengelola toko, mal mana yang bagus [untuk lokasi gerai], dan sebagainya,” ungkap Aryo mencontohkan pengalaman mengelola toko fisik. Namun ketika masuk ke ranah digital, skillset yang dibutuhkan menjadi berbeda.
Aryo menunjuk tahapan memilih dan membeli produk sebagai salah satu contoh. “Kalau dulu, pertimbangan memilih dan membeli produk kebanyakan terjadi di toko,” ujar pria lulusan IPB ini. Namun kini, tahapan awareness, consideration, purchase, dan repurchase bisa terjadi di mana saja. “Artinya sebuah brand seperti Body Shop harus bisa memberikan pelayanan terbaik di semua channel tersebut,” ungkap Aryo.
Karena itu ketika bicara omni channel, Aryo melihat pentingnya memahami customer journey konsumen secara keseluruhan. Saat ini manajemen TBSI sedang menganalisis berbagai kemungkinan customer journey konsumen. “Berdasarkan analisis kami, setidaknya ada 63 permutasi customer journey [dari konsumen TBSI],” ungkap Aryo. Permutasinya bisa BOPIS (Buy Online Pickup In Store), membeli secara online lalu diambil di minimarket, dan lain sebagainya.
“Saat ini, kami baru memiliki 5 dari 63 permutasi tersebut,” ungkap Aryo. Ke depan, TBSI akan menganalisis permutasi yang akan menjadi target, dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, infrastruktur, dan investasi yang dibutuhkan.
Pentingnya Memahami Customer Journey
Memahami customer journey memang membutuhkan proses yang panjang. Namun Aryo melihat proses ini harus dilakukan setiap perusahaan retail, karena retail di era digital bukan lagi sekadar memiliki toko online. “Strategi [memiliki toko online] ini memang bisa dilakukan sebagai langkah sementara, namun yang mendasar adalah memahami terlebih dahulu customer journey-nya,” tambah Aryo.
Karena itu ketika ditanya tips bagi transformasi digital perusahaan retail, Aryo menunjuk pemahaman konsumen menjadi paling krusial. “Kenali secara mendalam mengapa customer memilih produk kita maupun produk kompetitor,” ungkap Aryo.
Dari situ, buat strategi untuk membangun kedekatan dengan calon konsumen di setiap titik engagement. “Contohnya di mana mereka research produk, apakah di Facebook, Instagram, atau yang lain. Di situ kita harus hadir,” ungkap Aryo. Begitu pula memahami apa yang dilakukan konsumen saat mempertimbangkan pembelian, apakah mengecek di toko atau melihat review di internet. “Karena setiap bisnis kuncinya adalah mengetahui customer insight,” tambah Aryo.
Transformasi ini memang tidak mudah, namun Aryo meyakini TBSI dapat melakukannya. Secuplik cerita di atas sudah cukup membuktikan kegigihan seluruh tim dalam menghadapi situasi sulit.
“Kreativitas dan inovasi dalam mengantisipasi krisis membuat kami bisa bertahan,” tutup Aryo.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR