Industri e-commerce di Indonesia terus menggeliat. Banyak investor melirik sektor e-commerce untuk menarik konsumen. Investasi di sektor e-commerce memang menjanjikan karena peluang ekonominya sangat besar.
Jeli melihat peluang, Ertan Sonat Yalcinkaya mendirikan startup e-commerce penyedia peralatan rumah tangga bernama Shox Rumahan.
Dalam membangun marketplace tersebut, pria yang akrab dipanggil Kaya itu bekerja sama dengan rekannya Vyani Manao yang berperan sebagai Co-founder Shox Rumahan. Vyani sendiri adalah pendiri startup Pakde.
Pakde yang merupakan platform penyedia layanan pergudangan kemudian diakuisisi startup pengembang platform agregator logistik bernama Shipper. Akuisisi Pakde berkontribusi pada pertumbuhan Shipper hingga 50 kali lipat.
“Banyak investor di sekitar saya antusias dengan bisnis e-commerce di Indonesia, setelah melihat sektor ini berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Gross Merchandise Value (GMV) naik hampir dua kali lipat, kenaikan valuasi unicorn menunjukkan adanya peluang bisnis yang menjanjikan di sektor e-commerce,” ungkap Ertan Sonat Yalcinkay, Founder Shox Rumahan.
Namun, Kaya menilai aktivitas e-commerce di Indonesia masih terbatas pada kota-kota besar atau tier-1.
Dengan 10,56 juta penduduk, Jakarta kurang dari 5% populasi Indonesia tetapi berkontribusi sekitar 58% dari total pengguna perdagangan elektronik. Pemain e-commerce besar juga menyasar pengguna dari kawasan urban.
Data ini hanya merepresentasikan 10% dari total ritel di Indonesia. Berpengalaman dalam e-commerce Cambrian explosion (ledakan Kambrium) di Cina selama menjadi Head of Global Midea, Kaya memproyeksikan akan ada ledakan pertumbuhan yang sama di Indonesia.
Ia menyebutkan, “Pasar ritel e-commerce Cina 6 kali lipat lebih besar daripada Indonesia dan penetrasi pasar di kota-kota tier-2 lebih didorong oleh social-commerce. Dalam 5-10 tahun mendatang kita akan melihat kemunculan unicorn dari Indonesia yang menyasar pasar kota-kota tier-2 untuk merujuk ke model social-commerce yang sama.”
Data ekosistem logistik menunjukkan 60-70% pengiriman produk e-commerce memiliki tujuan ke kawasan Jabodetabek.
Kaya melihat pasar e-commerce masih memiliki banyak ruang untuk tumbuh di Indonesia dan pertumbuhan tertinggi didorong oleh 190 juta masyarakat perdesaan dengan lebih dari 130 juta penduduk perdesaan yang tidak memiliki rekening bank dan belum mengenal e-commerce.
Peluang Besar di Pelosok
Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan faktanya belum tersentuh layanan marketplace.
Dalam kacamata Kaya, untuk menyasar pasar penduduk perlu ada model bisnis berbeda karena kebanyakan pembeli sulit dijangkau, tidak memiliki rekening bank, dan masih belum percaya solusi teknologi.
Pemain e-commerce tidak dapat menerapkan model bisnis B2C bagi pengguna di pelosok meski pola tersebut sukses di tempat lain.
Pria yang berpengalaman mengembangkan e-commerce di 30 negara itu juga melihat faktor kepraktisan membuat pemain besar tetap memprioritaskan eksistensi mereka di kota-kota tier-1 meski daya beli masyarakat perdesaan akan tumbuh hampir 50%.
Bagi pemain e-commerce, lebih mudah memanfaatkan dan meningkatkan jumlah infrastruktur yang telah mereka bangun. Artinya, akan ada banyak peluang bagi pelaku bisnis yang menyasar pasar rural.
Walau demikian, Kaya menilai ada teka-teki perdagangan elektronik di kawasan pedesaan yang harus diatasi.
Sebab, tidak mudah menggarap pasar rural. “Jika semudah itu, sudah banyak pemain e-commerce yang melakukannya,” cetus Kaya.
Menurut Kaya, langkah pertama yang harus dilakukan ialah membaca dan memahami perilaku konsumen dan komunitas di perdesaan.
Social Commerce akan Berbeda di Indonesia
Perdagangan elektronik telah berevolusi dan mempunyai keterikatan kuat dengan rantai pasok e-commerce di Asia Tenggara, Cina tetap menjadi titik referensi untuk pemain e-commerce Indonesia.
Berpengalaman mengelola e-commerce di Cina, Kaya melihat social commerce seperti Pinduoduo dan Shihuituan menjadi kunci bagi pemain e-commerce untuk mengatasi kesenjangan dan melompat dari industri ritel tradisional.
“Saya optimistis social commerce dapat menjadi jalan untuk mengaktifkan komunitas perdesaan di Indonesia dalam perdagangan elektronik. Itulah sebabnya tim saya mencoba memperkenalkan model operasi perdagangan sosial ke komunitas perdesaan,” ungkap Kaya.
Social commerce juga akan berbeda di Indonesia. Alasan pertama ialah faktor geografis dan logistik. Cina merupakan daratan besar yang terpusat. Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang tersebar sehingga memicu tidak efisiennya rantai pasok dan berdampak pada tingginya biaya logistik.
Alasan kedua, infrastruktur. Walaupun berbagai usaha dalam e-commerce telah berinvestasi pada infrastruktur, Indonesia belum memiliki ekosistem teknologi terintegrasi seperti Cina.
Sederhananya, Indonesia tidak mempunyai aplikasi super seperti WeChat. Banyak aplikasi social commerce di Cina menyematkan beragam fitur pada platform WeChat. Ekosistem teknologi seperti ini tidak ditemui di Indonesia.
Meski Cina memiliki pondasi e-commerce yang kuat, Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengadopsi bisnis model dari sana. “Perlu ada penyesuaian, terutama bagi perekonomian di pelosok Indonesia,” terang Kaya.
Persoalan di Kawasan Rural
Solusi digital payment dan digital banking telah umum digunakan di kota-kota besar Indonesia, tetapi di kawasan rural masyarakat kebanyakan masih melakukan transaksi tunai.
Sekitar 60% populasi di perdesaan, atau 130 juta penduduk, tidak mempunyai rekening bank sendiri dan transaksi jual-beli secara kredit juga dilakukan secara tunai.
Para pemain e-commerce besar di Indonesia memang menyediakan fasilitas kredit, tetapi masyarakat di perdesaan cenderung menganggap proses pengajuan aplikasinya rumit dan terlalu banyak pertanyaan yang diajukan.
Sementara mereka tidak mengetahui jawabannya. Persoalan lain ialah harga. Karena kawasan perdesaan sulit diakses, biaya logistik dan pengiriman menjadi tinggi hingga mendongkrak harga produk.
Di provinsi-provinsi paling timur Indonesia, harga produk dapat mencapai dua kali lipat dari kota-kota level 1.
Penerapan model pengiriman di pelosok jelas tidak dapat disamakan dengan di kota besar karena harga produk menjadi tidak ekonomis, bahkan bagi platform besar pemenang persaingan.
Social Commerce adalah Bisnis Kepercayaan
Orang sering mengatakan social commerce masuk akal karena berbelanja adalah pengalaman sosial. Idenya ialah pengguna berbagi dan terhubung dengan teman, keluarga dan kenalan tentang produk yang dibeli. Social commerce secara sederhana mengimplementasikan ide tersebut.
Namun, itu bukanlah gambaran lengkap perekonomian di pelosok Indonesia. Walaupun berbelanja merupakan pengalaman sosial, Shox Rumahan percaya social commerce adalah bisnis kepercayaan.
Bersama para ketua komunitas di pelosok, seluruh tim Shox Rumahan memiliki tanggung jawab menjaga kepercayaan pengguna.
Di dalam komunitas perdesaan, anggota tidak mau mempercayai solusi berbasis teknologi. Mereka lebih percaya kepada tetangga, termasuk saat berbelanja daring.
Sekali saja transaksi jual-beli tidak memenuhi ekspektasi anggota, ketua juga kehilangan kepercayaan dan juga rasa hormat dari komunitas mereka.
Dibandingkan grup komunitas pembeli lain, risiko menurunnya kepercayaan di kawasan rural lebih tinggi, baik bagi pembeli maupun penjual. Penjual harus menanam kepercayaan pembeli.
Jika gagal, mereka bukan hanya kehilangan satu pembeli, tetapi juga seluruh anggota komunitas. Penawaran harga ekonomis memang penting, tetapi kepuasan pengguna jauh lebih penting.
Tarik Rural ke Ritel, Bukan Sebaliknya
Kaya melihat raksasa e-commerce Indonesia mengabaikan faktor-faktor tersebut sehingga efek trickle-down dalam ekonomi yang mereka rancang tidak akan bekerja di komunitas perdesaan.
Pemain tradisional e-commerce memfasilitasi persaingan dengan sangat baik. Mereka mendaftarkan sebanyak mungkin penjual dan mendorong sebanyak mungkin Stock Keeping Unit (SKU) di pasar.
Model ini menjaga harga tetap rendah, tetapi hanya bagi pembeli di kota tier-1. Sedangkan bagi pembeli di perdesaan harga menjadi tidak ekonomis akibat tingginya biaya pengiriman.
Tanpa penghematan biaya, sistem e-commerce tidak lagi menarik bagi pembeli di pelosok, terutama jika produk tidak sesuai kebutuhan.
Shox Rumahan mengatasi permasalahan ini dengan membalik piramida dan berfokus menarik komunitas perdesaan ke e-commerce.
“Daripada mendorong pembeli dengan banyak produk, Shox Rumahan hanya menyediakan produk yang mereka inginkan. Ini bukan sekadar lokalisasi, tetapi hiperlokalisasi. Jarum jauh lebih mudah ditemukan di tumpukan jerami yang jauh lebih sedikit,” tutur Kaya.
Agen Shox Rumahan memainkan peran besar dalam sistem piramida terbalik ini. Para ketua komunitas di pelosok mengetahui persis kebutuhan penduduk di perdesaan dan berbelanja atas nama mereka.
“Ini adalah situasi win-win bagi kedua belah pihak,” tegas Kaya.
Pembeli di perdesaan dapat membeli produk Shox Rumahan dengan harga sama seperti pembeli di Jakarta karena tidak ada mark-up, mengambil fasilitas cicilan 5-10 kali pembayaran, dan waktu pengiriman barang yang lebih singkat.
Tidak seperti pemain e-commerce besar, Shox Rumahan menawarkan harga sama seperti di kota besar karena target pembelinya adalah level RT, bukan individu.
Average Order Value (AOV) Shox Rumahan saat ini melampaui Rp3 juta yang berarti 5-10 kali lipat pemain social-commerce agent-based models lain.
Pemesanan dalam jumlah besar memudahkan Shox Rumahan menekan biaya logistik karena biaya pengiriman dapat dikurangi 5-10 kali lipat, tergantung luas desa.
“Kami dapat menyediakan lebih banyak alternatif bagi komunitas sembari membangun kepercayaan melalui agen-agen penjualan,” ujar Kaya.
Strategi tersebut lebih efektif dalam mengakuisi pengguna karena biaya akuisisi pengguna di komunitas pelosok bisa ditekan hingga 10 kali lipat lebih ekonomis daripada pemain e-commerce lain. Pelanggan juga akan bertahan karena mereka melihat nilai sebenarnya.
Berbasis di Yogyakarta
Berkantor pusat di Yogyakarta, manajemen Shox Rumahan menempatkan tim di jantung perdesaan Indonesia.
Yogyakarta terletak di provinsi tertua kedua di Indonesia dan menjadi jantung Pulau Jawa yang populasinya 140 juta orang.
Shox Rumahan yang berada di jantung perdesaan Indonesia memungkinkan tim memperhatikan dan merespon perubahan kebutuhan pasar secara cepat.
Para pendiri dan tim Shox Rumahan juga memiliki pengalaman signifikan di e-commerce Midea, Bukalapak, dan Shipper.
Saat ini, Shox Rumahan telah menjadi pemain e-commerce terkemuka di lebih dari 5 ribu desa. “Kami ingin menjaga kepercayaan pengguna dengan menyediakan solusi digital yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka,” papar Kaya.
Dengan menganalisis penjualan penduduk Indonesia dan komunitas di pelosok, tim Shox Rumahan dapat juga mengestimasi skor kredit mereka.
Dengan demikian Shox Rumahan berada dalam posisi baik untuk menciptakan ekosistem perbankan digital di perekonomian perdesaan Indonesia, memperkenalkan sistem pembayaran digital dan solusi keuangan lain kepada komunitas sembari meningkatkan literasi digital mereka.
"Pada saat bersamaan, Shox Rumahan berharap dapat mengonsolidasikan permintaan ekonomi perdesaan Indonesia dan menyoroti potensi pasarnya sehingga dapat menarik peritel lokal dan asing, serta mengembangkan proses seleksi," pungkas Kaya.
Baca Juga: PTS.sc: Sediakan Solusi One-Stop Supply Chain untuk Para Pelaku UMKM
Baca Juga: Justika: Membuat Layanan Hukum Menjadi Lebih Praktis dan Terjangkau
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR