Saat ini kasus pembajakan masih menjadi isu utama di industri perfilman karena pengguna bisa dengan mudah mengakses film dan serial TV melalui aplikasi atau situs streaming ilegal.
Bisnis ilegal memang sangat menggiurkan, riset terbaru organisasi nirlaba Digital Citizens Alliance dan perusahaan anti-pembajakan White Bullet Solutions, situs web dan aplikasi streaming ilegal bisa meraup keuntungan dari iklan digital hingga 1,3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18,6 triliun, setiap tahunnya.
Sebagian dari keuntungan itu dilaporkan berasal dari iklan milik perusahaan teknologi raksasa, seperti Amazon, Facebook, hingga Google. Dalam laporannya, Digital Citizen dan White Bullet mengidentifikasi adanya 84.000 situs hiburan terlarang.
Dari jumlah itu, sebanyak 6.000 situs dan 900 aplikasi paling populer dan aktif, dipilih sebagai sample penelitian ini. Selama Juni 2020 hingga Mei 2021, iklan yang muncul di 6.000 situs dan 900 aplikasi hiburan ilegal itu dipantau.
Sumber keuntungan Hasilnya, selama periode tersebut, situs web streaming ilegal itu berhasil mendapatkan keuntungan sebesar 1 miliar dollar AS (setara Rp 14,37 triliun) dari iklan digital.
Sementara aplikasi hiburan ilegal mendapat keuntungan sebesar 258 juta dollar AS dari iklan digital, kira-kira Rp 3,7 triliun. Bila dikalkulasikan, jumlah keuntungan yang didapat dari iklan digital itu sendiri mencapai Rp 18,6 triliun.
Dari seluruh iklan yang terpantau, perusahaan teknologi terkemuka seperti Amazon, Facebook dan Google, menyumbang sekitar 28 persen iklan yang muncul di situs web dan aplikasi hiburan ilegal.
Dengan rincian, 4 persen di situs web dan 24 persen di aplikasi ilegal. Menurut laporan, iklan digital yang berasal dari perusahaan tekologi terkemuka itu kemungkinan merupakan hal yang tidak disengaja.
"Kemungkinan ini adalah suatu kelalaian. Paling buruk, ini adalah pendanaan yang disengaja," kata Peter Szyszko, CEO dan Pendiri White Bullet, dikutip Bloomberg.
Penempatan iklan digital di situs web dan aplikasi streaming ilegal ini sebenarnya bisa dihentikan oleh perusahaan. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Amazon dengan inisiatif Trustworthy Accountability Group (TAG).
Dengan inisiatif tersebut, Amazon Advertising menjamin bahwa praktik iklan digital yang dijalankan perusahaan akan mempromosikan keamanan merek (brand safety), memerangi ancaman malware yang disebar melalui iklan, dan menjauhkan dari praktik penipuan.
Dengan inisiatif ini, penelitian menyebutkan, volume iklan Amazon di situs ilegal itu turun sepanjang tahun.
"Bila perusahaan gagal untuk memilih alat yang menilai risiko pembajakan secara real-time, berarti pengiklan mendanai penjahat - dan ini adalah masalah miliaran dollar," lanjut Szyszko.
Pihak Amazon, Facebook, dan Google sendiri belum berkomentar terkait masalah munculnya iklan perusahaan di situs web dan aplikasi hiburan ilegal ini. Iklan penipuan hingga konten dewasa Laporan tersebut juga menekankan bahwa meski angkanya kecil, kemunculan iklan dari perusahaan terkemuka seperti Amazon, Facebook, dan Google itu tetap saja bisa menjadikan situs web ilegal tampak lebih sah.
Iklan ini berkedok sebagai add-on anti-malware. Padahal, berisi virus.(Digital Citizens Alliance dan White Bullet) Pengguna yang berkunjung ke situs ilegal itu cenderung mengklik iklan "berbahaya" lain yang muncul di situs web tersebut.
"Menurut perhitungan kasar, satu dari tiga situs web dan aplikasi ilegal ini memiliki iklan berbahaya yang membuat konsumen terekspos pada penipuan dan malware," tulis laporan.
Hasil penelitian merinci, iklan digital di situs web memuat penipuan dan malware (8 persen), konten dewasa (17 persen), serta konten bersponsor yang seringkali clickbait (43 persen).
Sementara di aplikasi ilegal, juga ditemukan iklan berisi penipuan dan malware (11 persen), konten dewasa (1 persen), dan konten clickbait (1 persen).
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR