Bukan kebetulan apabila pendiri majalah INTISARI memiliki banyak kesamaan misi. Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong mendambakan akses informasi yang mencerahkan warga. Lalu, mereka pun sepakat untuk menerbitkan media bergaya cerita manusia, bukan renungan atau opini belaka.
Bulan ini, 58 tahun silam. Majalah INTISARI terbit perdana tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Majalah mungil ini terbit monokrom, tanpa sampul—tetapi tidak telanjang. Tebalnya, 128 halaman. Bertiras 10.000 eksemplar dan ludes!
Harga edisi perdana itu Rp60 untuk Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Rp65 untuk luar kota. Bahkan untuk beberapa edisi awal, harga itu sudah termasuk sumbangan pembangunan Tugu Monumen Nasional. Kita patut berbangga bahwa pembaca senior majalah ini turut berpartisipasi dalam pembangunan monumen kebanggaan Indonesia.
Jakob dan Ojong memiliki latar guru. Keduanya pendidik yang mumpuni. Keduanya, jurnalis yang idealis. Keduanya juga memiliki minat pada histori. Jakob pernah menyusun buku profil biografi tokoh-tokoh nasional. Sementara, seri buku Perang Dunia Kedua karya Ojong masih diburu dan dicari di toko-toko buku sampai hari ini.
Sejak April tahun ini, majalah INTISARI mengajak pembaca untuk melihat kembali histori, biografi, dan tradisi yang dikemas populer dengan sudut pandang minat insani. Misinya, menemukan kembali keasyikan sebagai manusia Indonesia melalui kisah berlatar sejarah dan budaya. Kisah itu akan hadir melalui berbagai platform, baik majalah, web, maupun media sosial.
Histori—Kisah bergenre sejarah populer tentang peristiwa atau kejadian masa silam tetapi selalu dikaitkan dengan situasi kininya.
Biografi—Tokoh segala bidang yang menginspirasi Indonesia, atau pemikiran atau karyanya memengaruhi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Tradisi—penjelajahan budaya dari gastronomi sampai candi, sebagai kecerlangan Nusantara. Pelestarian kesenian atau tradisi yang nyaris punah, dan seni sebagai bagian keseharian masyarakat.
Boleh dibilang, kini, setiap bulan majalah INTISARI menyajikan ‘edisi khusus’. Setiap bulan sajian kisah-kisahnya bertumpu pada cerita di balik sampul. Kami tidak sekadar menyajikan cerita fakta, tetapi juga bertumpu pada narasi manusianya. Setiap edisinya menjadi layak dikoleksi.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini tidak terlepas dari peristiwa dan pelakunya pada masa silam. Kebenaran terendah adalah kebenaran kata-kata, sedangkan kebenaran tertinggi adalah moral cerita. Kami memilih setiap cerita yang bisa mewakili pelajaran dan teladan untuk kehidupan sekarang. Bahkan, cerita kematian pun mengajarkan kehidupan.
Sepanjang tahun ini majalah INTISARI mengajak para pembacanya untuk tetap bersemangat dalam #KitaDigdaya. Aktivitas di media sosial ini mengungkap kembali kejeniusan sejarah dan budaya kita. Tujuannya, membangun kepercayaan diri dan kebesaran jiwa untuk bangkit dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Kami berharap semua sajian ini mampu membangkitkan kembali daya literasi Indonesia. Kami berharap terdapat perubahan pemahaman tentang kebinekaan—budaya, manusia, dan bentang alam—sehingga kita lebih mengenali riwayat yang membentuk Indonesia.
Kami berharap pula tentang pemahaman kita yang lebih baik dalam memandang isu-isu global, yang sejatinya turut memengaruhi kehidupan di Indonesia.
Kini, majalah INTISARI menjadi salah satu media nasional tertua di Indonesia. Lebih dari tiga dekade silam, Jakob Oetama pernah menerawang tentang media-media yang mampu bertahan hidup dalam Perspektif Pers Indonesia.
“Kata kunci di sini adalah bahwa media cetak bertahan hidup bahkan akan tetap berkembang sekalipun menghadapi saingan media elektronis,” ungkapnya. “Asalkan tanggap akan perubahan dan mampu menyesuaikan serta menguasai perubahan. Inovasi dan adaptasi!”
Perjalanan kita telah menembus lorong waktu. Selamat ulang tahun ke-58 untuk majalah INTISARI dan KG Media!
#KitaDigdaya
Penulis | : | Administrator |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR