Para ilmuwan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk memandu proses mendesain material baru berbahan dasar limbah biomassa untuk menangkap gas karbon dioksida.
Perubahan Iklim menjadi salah satu isu penting di dunia saat ini karena dampaknya yang mengerikan di masa depan. Bank Dunia melaporkan, akibat perubahan iklim, lebih dari 200 juta warga dunia terpaksa harus menjadi migran iklim. Dalam tiga dekade mendatang, mereka harus meninggalkan rumahnya karena kelangkaan air, kelaparan, atau naiknya permukaan air laut.
Perubahan iklim, menurut definisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah perubahan signifikan kepada iklim, suhu udara dan curah hujan mulai dari dasawarsa sampai jutaan tahun. Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut, disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia seperti emisi bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan, limbah dan kegiatan-kegiatan industri.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi menekan jumlah emisi gas karbon dioksida atau CO2. Salah satunya adalah carbon dioxide sequestration atau sekuestrasi karbon dioksida, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida yang berasal dari atmosfer. Metode ini juga dikenal dengan istilah Carbon Capture and Storage (CCS).
Karbon Aktif dari Limbah Biomassa
Jika ingin mengurangi perubahan iklim, kita harus menemukan cara yang efektif secara biaya dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) industri. Sayangnya, metode CCS yang sudah banyak digunakan saat ini untuk “menangkap” dan menyimpan karbon pada sumber-sumber pasca-pembakaran industri memiliki kelemahan yang signifikan, di antaranya berbiaya tinggi, potensi toksisitas terhadap lingkungan, atau isu daya tahan (durability).
Limbah biomassa dapat digunakan untuk menghasilkan karbon berpori (porous carbon), atau kita kenal sebagai karbon aktif, yang dapat menyerap gas CO2 yang dipancarkan dari sumber-sumber emisi besar, misalnya, pembangkit listrik, industri semen, dan sebagainya.
Salah satu keunggulan dari pemanfaatan karbon berpori untuk penyerapan CO2 adalah produk ini dapat dihasilkan dari limbah biomassa, seperti limbah pertanian, limbah makanan, kotoran hewan, dan puing-puing dari hutan. Hal ini membuat karbon berpori dari limbah biomassa (biomass waste-derived porous carbons/BWDPC) menarik tidak hanya dari sisi biayanya yang rendah, tetapi juga karena karbon berpori dari limbah biomassa bisa menjadi alternatif untuk memanfaatkan limbah biomassa.
Namun, hingga kini, tidak ada pedoman umum tentang bagaimana karbon berpori berkualitas tinggi tersebut harus disintesis atau bagaimana kondisi operasional karbon berpori yang optimal.
Dalam studi baru-baru ini, para ilmuwan menggunakan metode berbasis machine learning untuk menentukan faktor-faktor inti yang harus diprioritaskan dalam membuat karbon berpori dari limbah biomassa ini agar dapat mencapai kinerja adsorpsi atau penjerapan CO2 terbaik yang pada akhirnya akan membuka jalan menuju ekonomi sirkular.
Dengan latar belakang ini, banyak peneliti memfokuskan pada hal yang mungkin merupakan langkah terbaik kami untuk sistem CCS generasi berikutnya: adsorpsi CO2 menggunakan bahan karbon berpori padat.
Karbon berpori dari limbah biomassa membawa kita semakin dekat pada realisasi ekonomi sirkular, tapi bidang studi ini relatif masih baru, dan tidak ada pedoman atau konsensus yang jelas di antara para ilmuwan tentang bagaimana karbon berpori dari limbah biomassa harus disintesis atau sifat dan komposisi material apa yang harus mereka gunakan.
Penerapan Machine Learning untuk Strategi Sintesis Karbon
Apakah peran Artificial Intelligence (AI) dibutuhkan dan dapat membantu para ilmuwan menjawab tantangan ini? Studi terbaru yang diterbitkan di Environmental Science and Technology menyebutkan, tim riset dari Korea University dan National University of Singapore menggunakan pendekatan berbasis machine learning yang mungkin dapat memandu pengembangan strategi sintesis karbon berpori di masa depan.
Para ilmuwan telah mengetahui tiga faktor utama yang memengaruhi sifat adsorpsi CO2 karbon berpori dari limbah biomassa: komposisi unsur padatan berpori, sifat teksturnya, dan parameter adsorpsi di mana ia beroperasi, seperti suhu dan tekanan. Namun, bagaimana faktor-faktor tersebut harus diprioritaskan ketika mengembangkan karbon berpori dari limbah biomassa? Hingga kini, hal tersebut masih menjadi pertanyaan.
Untuk membantu menyelesaikan masalah ini, tim dari dua universitas tersebut terlebih dulu melakukan tinjauan literatur dan memilih 76 publikasi yang menjelaskan sintesis dan kinerja berbagai karbon berpori dari limbah biomassa Setelah proses kurasi, makalah-makalah tersebut menyediakan lebih dari 500 datapoint yang digunakan untuk melatih dan menguji model berbasis decision tree/tree-based.
“Tujuan utama dari pekerjaan kami adalah untuk menjelaskan bagaimana machine learning dapat dimanfaatkan untuk predictive analytics dan digunakan untuk membawa wawasan berharga ke dalam proses adsorpsi CO2 menggunakan karbon berpori dari limbah biomassa,” jelas Profesor Yong Sik Ok dari Korea University yang memimpin penelitian ini.
Fitur input dari model-model ini adalah tiga faktor utama tadi, sedangkan output-nya adalah tingkat penjerapan CO2. Meskipun model itu sendiri pada dasarnya menjadi 'kotak hitam' setelah proses pelatihan, mereka dapat digunakan untuk membuat prediksi yang akurat tentang kinerja karbon berpori yang didasarkan hanya pada faktor-faktor utama yang menjadi pertimbangan.
Yang terpenting, melalui analisis fitur, tim peneliti menentukan kepentingan relatif dari tiap fitur input untuk membuat prediksi yang akurat. Dengan kata lain, prediksi ini akan menetapkan faktor inti terpenting untuk mencapai tingkat adsorpsi CO2 yang tinggi.
Hasil menunjukkan bahwa parameter adsorpsi memberikan kontribusi lebih banyak daripada dua faktor utama lainnya sehingga model machine learning dapat membuat prediksi yang tepat. Yang digarisbawahi di sini adalah pentingnya mengoptimalkan kondisi operasional terlebih dahulu. Sedangkan, faktor sifat tekstur karbon berpori, seperti ukuran pori dan luas permukaannya, menempati urutan kedua. Dan faktor komposisi unsur berada di urutan terakhir.
Potensi Temukan Material Baru
Perlu dicatat bahwa prediksi model dan hasil analisis tingkat kepentingan fitur didukung oleh literatur-literatur yang ada dan pemahaman kami saat ini tentang mekanisme di balik proses penangkapan (capture) CO2. Hasil penelitian Ini memperkuat penerapan strategi data-driven di dunia nyata, tidak hanya untuk karbon berpori dari limbah biomassa tetapi juga untuk jenis material lainnya.
“Pendekatan pemodelan kami adalah cross-deployable dan dapat digunakan untuk menyelidiki jenis karbon berpori lain untuk adsorpsi CO2, seperti zeolit dan kerangka logam-organik, dan bukan hanya yang berasal dari limbah biomassa,” ujar Profesor Ok.
Tim dari dua universitas tersebut kini berencana merancang strategi sintesis karbon berpori dari limbah biomassa dengan fokus pada optimalisasi dua faktor utama terpenting. Selain itu, mereka juga akan terus menambahkan datapoint eksperimental ke database yang digunakan dalam penelitian ini dan menjadikannya open source sehingga komunitas peneliti juga dapat mengambil manfaat.
Dengan penelitian ini, kita berharap semua upaya-upaya yang dilakukan akan membawa kita pada masyarakat yang berkelanjutan yang dapat menghentikan perubahan iklim dan mencapai UN Sustainable Development Goals, salah satunya adalah Goal 13, yaitu Climate Action.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR