Bagi pembajak, tidak ada halangan dalam melakukan pembajakan. Dulu, orang yang ingin menerbitkan (istilahnya minting) NFT harus mengeluarkan semacam biaya pendaftaran. Namun platform penyedia NFT saat ini juga menyediakan opsi slow minting.
Yang dimaksud slow minting adalah, pengguna tidak tidak perlu membayar uang pendaftaran di muka saat menerbitkan NFT. Pembayaran baru dilakukan ketika produk NFT tersebut laku terjual. Celah inilah yang dimanfaatkan para pembajak untuk menjual produk bajakan, karena mereka cuma perlu copy-paste sebuah produk; mirip kasus Ridwan Kamil di atas.
3. Rawan Digoreng
Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) NFT adalah anonimitas-nya. Artinya, tidak perlu kejelasan siapa identitas pembeli dan penjualnya. Celah inilah yang bisa digunakan untuk “menggoreng” harga sebuah produk NFT.
Modusnya kurang lebih seperti ini. A menjual sebuah foto boneka di OpenSea. Lalu, A membuat akun lain dan membeli foto boneka tersebut dengan harga Rp.10 juta. Lalu, A membuat akun lain lagi dan membelinya dengan harga Rp.30 juta. Begitu seterusnya, sampai kemudian harganya menjadi Rp.100 juta.
Publik pun kemudian berpikir, foto boneka ini pasti berharga lebih dari Rp.100 juta karena banyak yang memperebutkan. Padahal, itu hanya permainan A semata.
Di sisi A, cara ini memang membutuhkan modal. Setiap terjadi transaksi, A harus membayar biaya ke marketplace NFT sekitar 2,5% dari nilai penjualan. Namun nilai itu relatif tidak seberapa dibanding keuntungan yang didapat.
Supaya adil, risiko goreng-menggoreng seperti ini juga ada di bentuk investasi lain. Namun risiko NFT relatif lebih besar, karena tidak ada regulator yang mengawasi. Selain itu, NFT biasanya melibatkan karya seni yang bagus-tidaknya terbilang relatif. Jadi meski hati kecil Anda heran kenapa foto boneka A yang biasa saja dihargai Rp.100 juta, narasi NFT menyodorkan fakta kalau harga pasarannya memang Rp.100 juta.
Nah, masih tertarik investasi NFT?
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR