Perusahaan harus mengetahui gambaran peta persaingan digital, strategi menghadapi kompetitor, dan strategi mempertahankan posisi di ruang digital yang jadi benchmark
bagi perusahaan di waktu mendatang.
Hermawan Kartajaya, sang begawan pemasaran yang dikenal atas kepiawaiannya dalam bidang pemasaran sekaligus penulis buku Trilogi Marketing X.0 Series mengungkapkan The 5 Emerging Trends of 2022, diantaranya:
1. Blockchain Technology: The Rise of NFT
Dilansir dari Blockchainmedia.id, pada tahun 2018, industri NFT mencapai volume perdagangan 41 juta USD, volume tersebut meroket hingga 2,5 miliar USD di tahun 2021.
Tidak terkecuali dari kalangan selebriti, deretan penyanyi hingga artis seperti Syahrini, Lesty Kejora, Anang Hermansyah, dan masih banyak lagi berlomba-lomba meluncurkan NFT tahun ini. Output-nya pun mengesankan, terjual habis di waktu yang cenderung singkat.
Pada tren metaverse, beberapa proyek akan berprestasi dibanding lainnya. Sejalan dengan kondisi pasar yang semakin jenuh, investor, creator, dan pengguna akan beralih ke dunia metaverse dengan popularitas tertinggi. Menawarkan berbagai kemudahan untuk menikmati experience dari rumah.
Terus meningkatnya tren metaverse menuntut pemain industri untuk agile. Mendalami apa sebenarnya metaverse dan apa manfaatnya bagi perusahaan. Oleh karenanya, MarkPlus, Inc. menghadirkan guest star Andes Rizky selaku Founder Shinta VR Indonesia. Shinta VR adalah perusahaan B2B penyedia layanan konten dan software VR (Virtual Reality). Perusahaan ini baru saja ramai dibicarakan karena sedang menjalankan proyek terbaru metaverse bersama RANS Entertainment yang dijuluki RansVerse.
2. G20 Priority Issues: Health, Digital, dan Sustainable Energy
Pelaksanaan KTT G20 Oktober tahun ini di Bali menjadi target khususnya bagi sektor pemerintah untuk mampu memulihkan sektor kesehatan, mengembangkan digitalisasi, dan
tak lupa sustainable energy. Bagi Hermawan, tiga fakta ini mampu menjadi strategi dan terobosan bagi entrepreneur agar dilirik pemerintah. Sebab itu, Hermawan menyatakan
“Kalau kita memperhatikan tiga sektor ini, akan betul-betul didukung pemerintah karena pemerintah menuju ke sana”, ujarnya.
3. Turbulent Economy: A Disrupted Recovery
Pasca pandemi ketidakpastian regulasi terus bermunculan, para pemain industri berusaha untuk pulih di tengah banyaknya disrupsi. Dari kacamata pemasaran, Hermawan menilai tren digital yang tak henti berdatangan mendorong adanya Digital War antara korporasi dan Start-up.
Bagaimana korporasi saling bertanding membangun layanan digital yang kontekstual dan terpercaya, menarik generasi baru atau bisnis di berbagai segmen, berkolaborasi dengan berbagai pemain industri, hingga membangun pengalaman konsumen baik itu OMNI, digital offline, dan online.
4. FOMO Generations: Is Everyone Making Money But You
Fenomena (Fear of Missing Out) kembali mewabah di era ini. Bagaimana tidak? Label tokoh entrepreneur ‘crazy rich’ terus bermunculan, berdampak pada budaya flexing generasi muda yang kian meninggi ditunjukkan di sosial media. Hermawan menilai kekhawatiran Gen Z meningkat dengan fenomena ini, mendorong mereka menuju Hustle Culture.
Raffi Ahmad misalnya, selebriti yang kerap disebut sebagai crazy rich. Bagi Hermawan, Raffi adalah sosok crazy rich yang cermat. “Raffi Ahmad sedang naik daun, dia tahu entertainment industry tidak sustainable, maka ia memperluas jangkauannya ke banyak lini bisnis. Dari jiwa entrepreneur, bisa melihat kesempatan.”.
Bicara soal real-crazy rich, Hermawan mengisyaratkan tokoh-tokoh di film Tinder Swindler dan Inventing Anna produksi Netflix, “Jangan ikut-ikutan berbisnis tapi menipu, lebih baik cuan tapi diam-diam. Teknologi sisi buruknya seperti ini, flexing agar banyak followers, padahal followers banyak juga berbahaya," ujarnya.
5. Multiverse Market: Offline Plus and Online Plus
Banyak usaha yang hanya berfokus pada kanal online atau offline yang mereka miliki. Padahal konsumen online dan offline sudah bercampur, sehingga pemasar tidak lagi bisa
KOMENTAR