Profesor Dina Katabi memaparkan bahwa studi dengan model artificial intelligence ini akan berdampak positif terhadap pengembangan obat dan perawatan klinis pasien pengidap Parkinson.
Dari aspek pengembangan obat, hasil studi dengan contoh artificial intelligence ini memungkinkan durasi uji klinis yang jauh lebih pendek dan peserta uji yang lebih sedikit. Dan pada gilirannya akan mempercepat pengembangan terapi baru.
Sementara di sisi perawatan klinis, pendekatan ini dapat membantu penilaian pasien Parkinson di komunitas tradisional yang kurang terlayani, termasuk mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan mereka yang kesulitan meninggalkan rumah karena keterbatasan mobilitas atau gangguan kognitif.
Parkinson termasuk jenis penyakit saraf dengan perkembangan tercepat di dunia. Penyakit ini adalah gangguan neurologis kedua paling umum, setelah Alzheimer.
Menurut catatan Kementerian Kesehatan RI, jumlah penderita Parkinson di Asia diprediksi meningkat dari 2,7 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 6,17 juta jiwa pada tahun 2030. Jika pravelensi dari penderita Parkinson dihitung dengan jumlah penduduk di Indonesia maka pada tahun 2019 penderita Parkinson mencapai 986 ribu jiwa dari jumlah penduduk jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 260 juta jiwa.
Ray Dorsey, seorang profesor neurologi di University of Rochester dan spesialis penyakit Parkinson menuturkan bahwa perangkat yang dikembangkan Katabi ini akan sangat membantu. Perangkat ini memungkinkan para peneliti dan dokter memperoleh penilaian yang obyektif dan nyata tentang kondisi dan aktivitas pasien Parkinson sehari-hari.
“Informasi yang kami miliki tentang manifestasi dari penyakit ini di lingkungan alaminya sangatlah terbatas,” ujar Dorsey seperti dikutip dari Neurosciencenews.com. Ia menganalogikan cara penilaian penyakit Parkinson yang ada sekarang seperti lampu jalanan di malam hari.
“Yang bisa kami lihat hanyalah bagian (jalan) yang sangat kecil…sementara sensor yang sepenuhnya tanpa kontak [dari perangkat yang dikembangkan Dina Katabi] membantu kami menerangi dalam kegelapan,” pungkas Ray Dorsey yang juga co-author dari laporan studi MIT ini.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR