Desa Kertayasa di Kecamatan Sindangagung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, tidaklah seperti desa pada umumnya. Jika desa biasanya jauh dari teknologi, Desa Kertayasa justru sebaliknya. Masyarakat Desa Kertayasa ini sudah terbiasa menggunakan teknologi digital (baik dalam bentuk situs dan aplikasi) untuk mengakses layanan publik.
Aplikasi yang mereka gunakan dinamakan SIMAK (Sistem Informasi Masyarakat Kertayasa) yang dikembangkan sendiri oleh Pemerintah Desa Kertayasa. Seperti diungkap Kepala Desa Kertayasa, Arif Amarudin, S.Sos.I, niatnya menciptakan sistem ini adalah semata-mata untuk memudahkan pelayanan Pemerintah Desa Kertayasa kepada masyarakat, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan transparansi dan administrasi.
“Kita punya aplikasi ini sejak 2020. Sejak saya masuk, yang pertama kali diperbaiki adalah good governance. Bagaimana pelayanan pintar, pelayanan cerdas ke masyarakat menggunakan teknologi. Kemudian kita membuat aplikasi berbasis website sendiri. Semua tentang desa ada di situ,” ungkap Arif.
Implementasi SIMAK ini menjadi salah satu wujud dukungan Desa Kertayasa kepada visi Bupati Kuningan yaitu Kuningan MAJU Berbasis Desa. Dengan demikian, tak heran jika desa yang memiliki penduduk 3.229 jiwa ini ditunjuk menjadi desa percontohan Layanan Online Pengaduan dan Perlindungan Hukum Terkendali atau e-peduli oleh Pengadilan Negeri Kuningan.
Mengubah Sampah Menjadi Berkah
Tak berhenti sampai di situ, Desa Kertayasa kini juga memiliki inovasi mengubah sampah menjadi berkah. “Kita berusaha semaksimal mungkin supaya tidak menjadi salah satu desa yang memberikan devisa sampah. Persoalan sampah ini kan kalau dirunut masalahnya ada di hulu kan, yaitu desa, dan desa itu kembali ke warga masing-masing,” jelasnya.
Sejak awal masa jabatannya, Arif telah memetakan masalah dan mendapati bahwa 60% sampah desa merupakan sampah organik yang berpotensi menimbulkan bau. Berbekal ilmu otodidak yang didapatkannya melalui YouTube, ia pun kemudian menggerakkan masyarakat untuk melakukan pengolahan sampah, bekerja sama dengan koperasi sampah di Cirebon.
Dari sini, lahirlah budidaya maggot yang dimulai pada tahun 2020. Maggot BSF merupakan larva BSF yang disebut juga monster belatung. Maggot inilah yang kemudian digunakan sebagai pengurai bakteri sebab makanan utama maggot adalah sampah organik.
Pengolahan sampah dengan cara ini akhirnya secara perlahan mengubah mindset masyarakat desa yang tadinya jijik dengan sampah menjadi “mencintai” sampah. Sebab, dengan memanfaatkan sampah, terdapat setidaknya lebih dari 15 orang yang akhirnya menjadi peternak maggot di masa pandemi yang lalu.
Dari budidaya ini, rata-rata penghasilan mereka diketahui bisa mencapai Rp1,6 juta per bulan. Alhasil, kini sampah organik berubah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat Desa Kertayasa. Karena gerakan ini pula, Desa Kertayasa pun mendapatkan bantuan berupa TPS3R dari kementerian serta berhasil melahirkan petani-petani milenial.
Fakta lainnya adalah tak hanya berhasil mengurai sampah organik, tetapi maggot juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pupuk serta pelet pakan ikan terbaik. Sehingga, manfaat dari budidaya maggot ini juga telah dirasakan oleh setiap sektor yang ada seperti pertanian, peternakan, dan juga perikanan di desa ini.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR