Saat ini penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) dengan populasi sebanyak 190,83 juta jiwa.
Di antara jumlah total penduduk Indonesia yang mencapai angka 275,36 juta jiwa pada Juni 2022, Gen Z menjadi generasi yang paling besar populasinya sebanyak 74,93 juta jiwa.
Gen Z yang merupakan penduduk kelahiran 1997-2012 sudah mulai memasuki usia produktif dan dikatakan memiliki kemampuan digital yang baik dan memiliki karakter yang cenderung berbeda dengan generasi yang lebih tua, dari mulai gaya hidup, cara pandang, dan cara berpikir.
Dalam event LiteBites 70.0 Niagahoster beberapa waktu lalu, Brand and Social Media Consultant, Antasena Adi Perdana, mengatakan, Gen Z pun memiliki pandangan dan karakter yang berbeda dalam shopping. Mereka cenderung sudah lebih aware dengan strategi marketing dan lebih pintar dalam memilih produk dan brand untuk dikonsumsi.
“Sebanyak 60 persen Gen Z ingin agar pebisnis bisa lebih inovatif dalam produk dan strategi marketing mereka. Dan karena kemampuan digital mereka yang bagus, 57 persen dari Gen Z pun menemukan produk baru dari media sosial. Sehingga, pebisnis harus step up their game untuk menarik perhatian Gen Z yang saat ini mendominasi pasar,” katanya.
Dampak Besar Power of Mouth Gen Z
Menarik perhatian Gen Z pun dinilai lebih rumit dibandingkan menarik perhatian generasi lain. Gen Z harus disuguhkan strategi unik dan inovatif yang orisinil dan sesuai dengan cara pandang mereka. Produk asli juga harus sesuai dengan apa yang diiklankan, dan sebaiknya tanpa gimmick.
“Gen Z memiliki power of mouth yang kuat. Jika mereka puas dengan produk yang dibeli dan digunakan, mereka bisa membuat produk atau brand tersebut viral di media sosial hingga meraih kesuksesan besar. Namun sebaliknya, jika mereka kecewa dengan suatu produk, produk tersebut juga akan viral tapi dengan konotasi buruk dan akhirnya akan mendapatkan cancel culture dari mereka,” lanjut Antasena.
Berdasarkan data, TikTok merupakan media sosial yang paling banyak digunakan oleh Gen Z, yang kemudian diikuti oleh Instagram dengan presentase yang tidak jauh berbeda. Dalam sehari, Gen Z bisa mengonsumsi konten TikTok rata-rata selama 90 menit.
“Mereka pun lebih suka menonton konten-konten organik yang tidak kebanyakan gimmick, dan memiliki value yang sesuai dengan value yang mereka miliki dan percayai. Itu menjadi tantangan besar bagi pebisnis dan konten kreator, terutama karena power of mouth Gen Z yang dampaknya besar,” katanya.
Komposisi Konten yang Tepat
Dengan TikTok menjadi media sosial yang paling banyak dikonsumsi oleh Gen Z, vertical video tentunya menjadi konten favorit bagi generasi tersebut. Era vertical video sebagai media promosi menjadi tantangan konten kreator dan social media specialist untuk membuat konten yang singkat yang komposisinya pas.
“Komposisi yang tepat tersebut harus meliputi copy yang menarik, memiliki unsur entertainment, dan punya unique selling point. Memang cukup rumit, karena jika ada hardselling sedikit saja, Gen Z cenderung sudah tidak tertarik dan langsung melewati konten tersebut,” jelas Antasena.
Pebisnis dan konten kreator harus semakin kreatif untuk dapat memadukan konsep konten yang diminati dengan produk yang akan dipromosikan di media sosial.
“Selain itu, Gen Z juga akan rela membayar lebih untuk produk yang memiliki value. Misalnya lebih ramah lingkungan, atau dari brand yang aktif membantu orang-orang yang membutuhkan,” tutupnya.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR