Di era ekonomi digital seperti saat ini, data menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan/organisasi. Bahkan, banyak pakar yang beranggapan bahwa ‘data is the new oil’.
Dengan memanfaatkan data, ada beragam keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan. Misalnya, mengefisiensikan proses bisnis, meningkatkan pendapatan, hingga bantu memecahkan masalah dan pengambilan keputusan.
Namun ketika perusahaan bergantung dengan data, semakin tinggi pula kewajiban untuk menjaga data tersebut. Karena itulah istilah data resilience atau ketahanan data menjadi topik penting saat ini.
Jika didefinisikan, data resilience adalah kemampuan infrastruktur data untuk selalu tersedia dan dapat diakses meskipun perusahaan mengalami gangguan, masalah, ataupun bencana yang tidak dikehendaki.
“Jadi kalau bicara soal data resilience itu berarti ada dua aspek di situ, yang pertama adalah availability (ketersediaan) data, kemudian yang kedua accessibility (aksesibilitas). Jadi tujuannya data resilience ini memastikan data selalu tersedia, kalau bisa 24/7. Dan data tersebut bukan hanya tersedia, tapi yang lebih penting lagi aspek kedua adalah bahwa data tersebut harus bisa diakses,” jelas Goutama Bachtiar, Director of IT Advisory, Grant Thornton Indonesia.
Goutama mengatakan hal tersebut pada acara acara InfoKomputer Innovate yang berlangsung beberapa waktu lalu di Hotel Pullman, Jakarta. Acara yang didukung oleh IBM Indonesia dan Multipolar Technology ini dihadiri oleh puluhan IT Leaders dari berbagai perusahaan di Indonesia.
Resiko Umum Atas Data Resilience
Dalam pemaparannya, Gautama mengungkapkan mengenai resiko paling umum yang dihadapi perusahaan terkait data resilience. Jika mengacu pada laporan ENISA dan Forbes di tahun 2022, setidaknya ada 10 resiko paling umum.
Pertama, Hardware Failure. “Hardware Failure itu artinya kegagalan dari hardware (perangkat keras)-nya sendiri yang menyebabkan data hilang,” cetus Gautama.
Kedua, Software Vulnerabilities. Vulnerability ini sendiri mengenai kelemahan-kelemahan yang ada di dalam software atau aplikasi.
Ketiga, Misconfiguration (Human Error). “Jadi banyak juga dijumpai di laporan maupun hasil studi bahwa terjadi resiko terhadap data resilience karena adanya miskonfigurasi ya. Jadi kesalahan dari sisi manusia,” kata Gautama.
Keempat, Ransomware. “Ransomware ini amat sangat lazim dijumpai bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar Indonesia.” Tuturnya.
Kemudian, resiko-resiko lain paling umum dari data resilience di antaranya Poor Data Management, Power Outage, Virus and Malware, Inadequate Post-Attack Procedure, D (DoS), dan Third-Party (Suppy Chain).
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR