Kemajuan dan manfaat teknologi artificial intelligence (AI) bagi bisnis semakin nyata. Namun ternyata separuh dari perusahaan di dunia mengaku infrastrukturnya belum siap menopang inisiatif AI. Bagaimana sebaiknya organisasi dan perusahaan menyiapkan fondasi yang andal untuk transformasi AI?
Kehadiran dan manfaat AI menjadi semakin nyata karena ketersediaan sumber daya pendukung untuk adopsinya juga semakin banyak, seperti cloud computing dan aneka tools, termasuk open source. Penerapannya juga kian luas di berbagai bidang, termasuk sektor jasa keuangan.
Baca juga: Adopsi Teknologi AI, Sektor Jasa Keuangan Sebaiknya Mulai dari Sini
Namun di sisi lain, menurut hasil survei 451 Research, 51% enterprise di dunia mengemukakan bahwa infrastruktur AI yang mereka miliki saat ini belum siap untuk memenuhi permintaan di masa depan.
Padahal, firma global McKinsey memproyeksikan potensi AI untuk berkontribusi terhadap perekonomian global dengan menghasilkan tambahan output sebesar US$13 triliun pada tahun 2030. Potensi ini diperkirakan akan menghasilkan peningkatan keseluruhan produk domestik bruto (PDB) global sebesar 16%, menurut McKinsey.
Tak hanya tantangan infrastruktur, perusahaan juga kerap menemui beberapa tantangan lain ketika menjalankan inisiatif AI-nya.
“Tantangan pertama yang sering dihadapi adalah kesulitan talenta. Bagi yang sudah menjalankan proyek AI tentu tahu betapa sulitnya mencari data scientist dan data engineer. Belum lagi ketika kita terpaksa ‘rebutan’ di market dengan perusahaan-perusahaan lain,” ujar Vony Tjiu, Country Manager Indonesia, Red Hat.
Tantangan selanjutnya adalah tool artificial intelligence dan machine learning (AI/ML), terutama tool yang bisa diakses secara self-service dan konsisten di seluruh pengoperasian AI. “Dan juga dari sisi bagaimana integrasinya, memiliki kekuatan the true hybrid, baik itu di on-premises, di cloud ataupun hybrid, atau di edge,” jelasnya.
Tantangan yang tak kalah peliknya, menurut Vony, adalah kompleksitas karena proyek AI akan melibatkan banyak peran.
Pendekatan Open Source dan Platform
Menjawab tantangan-tantangan itu, Vony Tjiu menyarankan dua hal: teknologi open source dan platform. Hasil survei Pulse menunjukkan, 69% perusahaan menggunakan software open source berbasis cloud untuk mendukung inisiatif AI. Dan 78% dari perusahaan-perusahaan itu memilih untuk menjalankan beban kerja (workload) AI di infrastruktur hybrid cloud.
Mengapa open source? Menurut Vony, dengan menggunakan teknologi open source, kekuatan pengguna, termasuk kecepatan inovasi, ada di tangan pengguna. Informasi open source tersedia di mana saja, termasuk di komunitas.
“Sementara jika menggunakan proprietary software, kekuatan ada di pemilik software, kita akan sangat tergantung dan dependensi ke perusahaan tersebut, terlepas dari berapa besar investasi R&D dari perusahaan tersebut,” ujar Vony kepada para peserta acara InfoKomputer Tech Gathering yang berlangsung Kamis (14/9) di Jakarta.
Untuk mendapatkan fondasi yang andal bagi inisiatif AI, ia juga menyarankan perusahaan menggunakan pendekatan platform sehingga memungkinkan berbagai peran yang terlibat dalam mengoperasikan AI mengakses data bersama serta menggunakan tool secara mandiri dan aman.
“Nah itulah di situlah bagaimana AI/ML Ops dan juga developer bisa bekerja sama di satu platform supaya produktivitas dan juga efisiensinya lebih tinggi. Kalau (bekerja) di platform yang berbeda harus ada upaya integrasinya. Namun kalau bisa dijalankan di satu platform yang sama tentunya itu akan sangat menghemat waktu dan juga memberikan time to market yang lebih cepat,” tegas Vony.
Berbicara mengenai platform untuk menjalankan proyek AI/ML, survei 451 Reasearch menyebutkan bahwa 94% pelaku TI telah atau ingin menjalankan workload AI menggunakan platform container.
Selain tren microservices yang terus berkembang saat ini, menurut Vony Tjiu, container disukai karena empat karakteristiknya, yaitu kelincahan (agility), fleksibilitas, portabilitas, dan skalabilitas.
“Jadi dari sisi benefit yang didapatkan dari pemanfaatan container adalah skalabilitas, faster time to market, dan faster AI workload processing. Jadi bagaimana data-data itu diproses dengan lebih cepat jika menggunakan platform container,” jelasnya.
Cara Red Hat Dukung Transformasi AI
Dalam seminar yang mengusung tema “Pentingnya Modernisasi Aplikasi untuk Bersaing di Era Artificial Intelligence” tersebut, Vony Tjiu menegaskan peran Red Hat dalam membantu berbagai perusahaan dan organisasi bertransformasi dengan AI.
Yang pertama, sebagai platform company, Red Hat berperan dalam menyediakan platform container Red Hat OpenShift untuk menjalankan AI workload. Vony juga menyoroti kekuatan hybrid cloud yang ditawarkan Red Hat melalui Red Hat OpenShift sehingga aplikasi dapat dijalankan di mana saja. “Literally anywhere! Baik itu on-premises, di cloud, multi cloud, atau di edge,” katanya.
Selain itu, Vony menjelaskan, Red Hat telah berkontribusi selama hampir puluhan tahun di Open Source Community Project. Salah satu proyek di mana Red Hat berkontribusi secara aktif selama lima tahun terakhir adalah Open Data Hub Project, yaitu sebuah platform AI open source untuk hybrid cloud.
Red Hat juga terlibat dalam Upstream Project. “Ini adalah salah satu komunitas Upstream Data and AI Project yang sudah disupervisi langsung oleh CTO dari Red Hat selama lima tahun.
Di sana kami membantu memastikan bahwa tool open source yang dipakai oleh teman-teman developer running very well di Red Hat OpenShift Container Platform dan membentuk architectural blueprint yang bisa langsung dipakai oleh teman-teman dalam menjalankan AI/ML project,” papar Vony.
Sebagai platform company, Red Hat juga menjalin kerja sama dengan banyak pihak guna membangun ekosistem yang lengkap untuk mendukung para pelanggannya bertransformasi dengan AI. “Sampai saat ini, kami telah bekerja sama dengan sekitar 30 penyedia solusi AI/ML. Dan solusi-solusi para mitra ini sudah tersertifikasi untuk jalan di atas platform Red Hat,” imbuh Vony.
Bantuan lain yang ditawarkan Red Hat adalah Red Hat OpenShift Data Science. Platform AI ini membantu para developer dalam mengembangkan, melatih, melayani, dan memantau model-model AI/ML tanpa harus memikirkan kompleksitas infrastruktur.
Sedangkan untuk membantu perusahaan memulai perjalanan transformasi AI-nya, Red Hat juga memiliki Red Hat Consulting Services. “Kita bisa identifikasi dari sisi inisiatifnya, kesulitannya, dan teknologi yang dibutuhkan seperti apa. Ini bentuknya adalah pendampingan, bisa berupa peer mentoring, residence, dan lain-lain,” pungkas Vony di seminar yang merupakan kerja sama antara InfoKomputer dan Red Hat Indonesia tersebut.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR