Bahkan, tak sedikit pula perusahaan yang mengembangkan aplikasi lebih dari satu atau dalam jumlah banyak.
“Kalau bicara soal aplikasi, sekarang ini kita banyak mendengar istilah super app. Faktanya, super app jadi tren dan aplikasi seperti itu menjadi suatu cara atau media bagaimana bisnis atau penyedia layanan berinteraksi dengan konsumen,” jelas Hansen Panjaitan, Senior Software Engineer and Consultant, Multipolar Technology.
Ia pun mengibaratkan super app seperti toko swalayan, di mana di dalam super app konsumen bisa melihat produk, memilih produk, dan membeli berapa banyak produk yang diinginkan.
Di sisi lain, perusahaan pun dituntut harus bisa menjamin kelancaran operasional super app yang dimilikinya.
“Kalau misal toko swalayannya tutup, maka tidak ada transaksi. Kalau misal pelayan toko swalayannya lambat melayani atau antrenya panjang itu juga ‘kan merusak pengalaman pelanggannya. Apalagi kalau konsumennya lagi buru-buru,” tutur Hansen.
“Nah, aplikasi juga sama seperti itu, kita jaga supaya minimal tidak down atau juga jangan sampai lemot. Kalau misalnya down atau lemot, bisa jadi macam-macam kejadian. Misalnya konsumen pindah ke aplikasi lain, otomatis ke bisnis lain, atau mungkin memasukkan bintang satu ke review aplikasi. Ini ‘kan kurang baik juga buat reputasi perusahaan kita,” tambah Hansen.
Kondisi seperti di atas tentunya harus bisa di antisipasi oleh tim operasional TI di perusahaan. “Di zaman aplikasi yang sudah mulai model seperti ini (super app), tim operasional TI itu tidak bisa lagi secara reaktif, soalnya mereka berhadapan dengan tantangan misalnya seperti selain aplikasi harus high available, scalable, responsif, dan tidak lemot, aplikasi juga harus bisa mengikuti gerakan bisnis dari perusahaan. Selain itu, kita juga harus bisa mengoperasikan (aplikasi) dengan biaya tidak terlalu besar. Secara biaya juga harus efektif dan tidak lupa memperhatikan faktor sustainability,” papar Hansen.
Untuk membantu perusahaan dalam mengelola infrastruktur digital seperti aplikasi bisnis, IBM memiliki solusi yang bernama ‘Instana Enterprise Observability’.
Salah satu kemampuan yang dimiliki solusi ini yaitu mambantu semua tim operasional TI untuk melakukan full stack visibility.
“Jadi tidak lagi sebuah aplikasi hanya bisa dilihat berdasarkan komponen saja. tetapi semua itu kita bisa lihat mulai dari front end, middleware, sampai ke back end. Semua bisa dilihat secara keseluruhan,” tutur Hansen.
Instana Enterprise Observability yang sepenuhnya dapat berjalan otomatis menempatkan data kinerja aplikasi dalam konteks untuk memberikan identifikasi cepat guna membantu mencegah dan memulihkan masalah jika suatu saat terjadi.
Hansen mengungkapkan, “Solusi ini bisa meng-collect semua data aplikasi dan kemudian membangun konteks. Tujuannya apa? Untuk membantu tim operasional TI mengerti dan memahami aplikasi itu behaviour-nya bagaimana. Seperti apa yang dikatakan masalah, seperti apa yang dikatakan tanda-tanda menuju terjadi insiden, bahkan ketika insiden terjadi apa yang dapat Instana bantu supaya tim terkait kemudian bisa lebih cepat menemukannya.”
“Saat intelligent action-nya juga bekerja, yang dilakukan berdasarkan data yang sudah di-collect dan analisa. Jadi action yang dilakukan diharapkan tentunya lebih akurat karena didasarkan pada data yang sudah ada sebelumnya,” pungkas Hansen.
Pada akhirnya, solusi seperti Instana Enterprise Observability menggambarkan pentingnya teknologi otomatisasi untuk mendukung infrastruktur digital di era transformasi digital seperti saat ini.
Baca Juga: Studi: 40% Tenaga Kerja Perlu Pelatihan Ulang Akibat dari Penerapan AI
Baca Juga: IBM, Multipolar Technology Beberkan Cara Tingkatkan Data Resilience
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR