Dalam hal ini, COVID-19 merupakan momentum perubahan yang menyadarkan pebisnis akan pentingnya transformasi digital.
Sejak pandemi, kami melihat semakin banyak UMKM yang tidak lagi mempertanyakan manfaat digitalisasi, tetapi malahan secara proaktif mencari solusi-solusi teknologi yang memampukan mereka untuk dapat bertahan dan bertumbuh.
Keterbatasan akses terhadap teknologi yang mendasar seperti konektivitas dan jaringan internet juga menjadi kendala bagi UMKM.
Pasalnya, menurut statistik We Are Social, sebanyak 23% masyarakat yang belum terkoneksi dengan internet, khususnya mereka yang menghuni daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Ini juga merupakan kendala tersendiri bagi para pelaku UMKM yang beroperasi di daerah-daerah tersebut.
Tantangan ketiga dan terakhir adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan cakap teknologi.
Berdasarkan temuan Bank Dunia dan McKinsey yang dijadikan rujukan pemerintah, Indonesia membutuhkan setidaknya 9 juta talenta digital pada 2030, atau setara dengan 600 ribu talenta digital per tahunnya. Kekurangan talenta digital ini tentunya menjadi rintangan yang sangat serius.
Meskipun teknologi yang tersedia sudah sangat canggih, tetapi jika tidak ada yang sanggup mengoperasikannya, maka teknologi tersebut akan terbuang sia-sia potensinya.
Sayangnya, dengan jumlah talenta digital lokal yang belum mencukupi itu, UMKM menjadi terkendala ketika hendak membentuk divisi IT-nya sendiri.
Memilih Mitra yang Tepat untuk Mendukung Transformasi Digital
Ketiga tantangan di atas yang membuat UMKM secara umum kesulitan untuk menjalani transformasi digital.
Di sisi lain, begitu besarnya manfaat yang dihadirkan teknologi membuatnya tidak lagi sekadar menjadi pilihan, melainkan suatu keharusan bagi bisnis.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR