Penulis: Sudianto Oei, CEO dan Founder Hypernet Technologies
Setiap harinya, kita melihat dan berinteraksi dengan pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) di sekeliling kita.
Dari warung tempat kita membeli kebutuhan sehari-hari hingga pemasok barang dan jasa yang menggerakkan roda perekonomian, UMKM merupakan penyumbang terbesar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional, dengan nilai kontribusi sebesar 60,5%.
Bahkan, UMKM diperkirakan membuka sebanyak 97% lapangan pekerjaan di Indonesia.
Namun, menurut estimasi Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informatika) Republik Indonesia, baru sebanyak 32 persen UMKM yang memanfaatkan teknologi digital per tahun 2022.
Dengan kata lain, masih ada sekitar 68 persen atau lebih dari setengah total UMKM di Indonesia yang belum terjangkau teknologi.
Di kalangan UMKM khususnya, Hypernet Technologies mengidentifikasi sebanyak tiga masalah yang menghalangi pelaku usaha dalam mengadopsi teknologi dan mengimplementasikan transformasi digital.
Tantangan pertama adalah pola pikir yang masih tradisional dan mengutamakan produk-produk yang memiliki wujud fisik di atas layanan-layanan digital.
Kemudian, ada pula pemikiran business as usual. Tidak sedikit yang berpikir, “Bisnis berjalan lancar seperti biasanya, mengapa saya harus berinovasi?”
Tidak hanya usaha-usaha mikro yang masih terjebak dalam pola pikir seperti ini, namun dalam kesehariannya kami juga kerap menemui usaha-usaha di tingkat menengah yang mungkin telah memanfaatkan teknologi, tetapi pemanfaatannya tidak maksimal.
Contohnya adalah bisnis yang sudah menggunakan infrastruktur on-prem, namun belum siap untuk beralih ke cloud computing.
Pola pikir seperti ini sebenarnya terbentuk karena kurangnya edukasi di kalangan UMKM. Pengusaha belum mengerti sepenuhnya bagaimana penggunaan teknologi termutakhir dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan bisnis.
Padahal, jika dihitung, return on investment (ROI) yang dinikmatinya akan menjadi sangat signifikan dalam beberapa waktu ke depan.
Dalam hal ini, COVID-19 merupakan momentum perubahan yang menyadarkan pebisnis akan pentingnya transformasi digital.
Sejak pandemi, kami melihat semakin banyak UMKM yang tidak lagi mempertanyakan manfaat digitalisasi, tetapi malahan secara proaktif mencari solusi-solusi teknologi yang memampukan mereka untuk dapat bertahan dan bertumbuh.
Keterbatasan akses terhadap teknologi yang mendasar seperti konektivitas dan jaringan internet juga menjadi kendala bagi UMKM.
Pasalnya, menurut statistik We Are Social, sebanyak 23% masyarakat yang belum terkoneksi dengan internet, khususnya mereka yang menghuni daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Ini juga merupakan kendala tersendiri bagi para pelaku UMKM yang beroperasi di daerah-daerah tersebut.
Tantangan ketiga dan terakhir adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan cakap teknologi.
Berdasarkan temuan Bank Dunia dan McKinsey yang dijadikan rujukan pemerintah, Indonesia membutuhkan setidaknya 9 juta talenta digital pada 2030, atau setara dengan 600 ribu talenta digital per tahunnya. Kekurangan talenta digital ini tentunya menjadi rintangan yang sangat serius.
Meskipun teknologi yang tersedia sudah sangat canggih, tetapi jika tidak ada yang sanggup mengoperasikannya, maka teknologi tersebut akan terbuang sia-sia potensinya.
Sayangnya, dengan jumlah talenta digital lokal yang belum mencukupi itu, UMKM menjadi terkendala ketika hendak membentuk divisi IT-nya sendiri.
Memilih Mitra yang Tepat untuk Mendukung Transformasi Digital
Ketiga tantangan di atas yang membuat UMKM secara umum kesulitan untuk menjalani transformasi digital.
Di sisi lain, begitu besarnya manfaat yang dihadirkan teknologi membuatnya tidak lagi sekadar menjadi pilihan, melainkan suatu keharusan bagi bisnis.
Pelaku usaha perlu menyadari bahwa transformasi digital bukan tentang mengeluarkan biaya ataupun upaya berlebih, serta tidak harus dilakukan seorang diri saja. Ada para mitra yang siap untuk membantu mereka untuk naik kelas.
Bagaimana pebisnis dapat memilih mitra yang tepat dalam mendampingi perjalanan transformasi digitalnya?
Yang dibutuhkan UMKM adalah mitra yang dapat menyediakan layanan menyeluruh alias end-to-end yang mencakup internet, Wi-Fi, cloud, internet of things (IoT), keamanan siber, hingga konsultasi dan layanan IT profesional lainnya.
kemudian, UMKM perlu mencari mitra yang memegang sertifikasi khususnya di bidang IT dan keamanan, sehingga UMKM dapat berfokus penuh kepada pertumbuhan bisnisnya dan tidak perlu memusingkan soal urusan IT, serta memastikan keamanan data perusahaan maupun pelanggan.
Ada berbagai sertifikasi yang dapat dijadikan rujukan, tetapi yang pada umumnya menjadi bukti kecakapan dan keahlian tim adalah kepemilikan sertifikasi ISO.
Dari segi harga, menjalin kemitraan juga menjadi keuntungan tersendiri bagi UMKM lantaran tidak memerlukan investasi – khususnya untuk keperluan belanja infrastruktur IT – dalam jumlah besar di awal.
Pelaku usaha sebaiknya memilih skema pembayaran yang berdasarkan besar atau kecilnya penggunaan per bulan (pay-as-you-go), karena menawarkan fleksibilitas yang lebih tinggi untuk menyesuaikan pengeluaran IT dengan kebutuhan riilnya masing-masing.
Akhir kata, menggandeng mitra membuat UMKM tidak perlu lagi mengarungi perjalanan transformasi digitalnya sendirian.
Dengan menggandeng mitra teknologi yang tepat, pelaku usaha dapat mendedikasikan seluruh waktu dan tenaganya terhadap bisnisnya dan membiarkan urusan IT di tangan sang mitra.
Baca Juga: Advan Rilis All-In-On PC untuk Sektor Bisnis, Harga Mulai Rp5 Jutaan
Baca Juga: Bina Nusantara, Hypernet Technologies Dorong Digitalisasi Pendidikan
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR