Belanda dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memulai sebuah inisiatif di Eropa yang bertujuan untuk membantu badan-badan nasional dalam mengawasi penggunaan artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam beberapa bulan mendatang.
Proyek ini mendapatkan dukungan dari Komisi Eropa dan muncul sebelum disetujuinya AI Act, undang-undang yang akan mengatur penggunaan AI di Eropa. Dalam proyek ini, UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) akan mengumpulkan informasi mengenai cara negara-negara Eropa saat ini mengawasi AI dan menyusun rekomendasi praktik terbaik.
Belanda juga akan membantu UNESCO dalam berkomunikasi dengan kelompok kerja nasional di seluruh Eropa. Gabriela Ramos dari UNESCO menyatakan bahwa pembelajaran dari proyek ini akan menjadi dasar untuk diskusi sejenis di seluruh dunia.
"UNESCO telah memainkan peran penting dalam perdebatan tentang AI, mengeluarkan pedoman etika pada tahun 2021 yang diadopsi oleh semua negara anggota, meskipun tidak mengikat secara hukum," katanya seperti dikutip Reuters.
Nathalie Berger (Direktur Layanan Komisi Eropa) mengungkapkan bahwa AI Act akan disahkan tahun ini, tetapi akan memerlukan waktu tambahan dua tahun untuk mulai berlaku sepenuhnya.
"Kami menekankan pentingnya pengawasan untuk memastikan penggunaan AI berjalan dengan baik dalam praktiknya," ucapnya.
UNESCO telah menjadi suara penting dalam perdebatan tentang AI, dengan pedoman etika yang diajukan pada tahun 2021 yang diadopsi oleh semua 193 negara anggota, meskipun tidak mengikat secara hukum.
"Pengawasan adalah kunci mutlak untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik dalam praktiknya," kata Berger.
Profesi Paling Terancam
Kini teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sudah memasuki setiap lapisan industri dan menggantikan pekerjaan manusia. Penggunaan teknologi AI jauh lebih murah dan efisien dibanding manusia. Hal itu menimbulkan ketakutan di mata manusia bahwa lapangan pekerjaannya bakal digantikan oleh AI.
Apalagi, sudah ada beberapa perusahaan dan startup yang menggantikan pegawainya dengan teknologi AI sehingga menciptakan penggangguran yang banyak.
Fenomena itu juga menjadi perhatian Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang melakukan kajian khusus terhadap AI. Hasilnya, PBB memastikan AI tidak akan sepenuhnya mengambil alih pekerjaan banyak orang tetapi mengotomatisasi sebagian tugas mereka, sehingga membebaskan mereka untuk melakukan tugas lainnya.
Namun, studi PBB menekankan pekerjaan klerikal (administratif) dan perempuan paling terdampak dengan kehadiran teknologi AI.
"Admin bakal terkena dampak paling keras dari AI dan itu berdampak perempuan karena perempuan paling banyak bekerja di sektor ini, terutama di negara-negara yang lebih makmur," tulis laporan PBB tersebut.
Kekhawatiran tentang AI yang mengambil pekerjaan manusia mirip dengan kekhawatiran yang muncul saat lini perakitan bergerak diperkenalkan pada awal tahun 1900-an dan setelah komputer mainframe pada tahun 1950-an.
PBB mengungkapkan sebagian besar pekerjaan dan industri hanya terpapar sebagian pada otomatisasi dan lebih mungkin untuk melengkapi daripada digantikan AI.
Profesi yang kemungkinan paling terpengaruh oleh AI generatif yang mampu menghasilkan teks, gambar, suara, animasi, model 3D, dan data lainnya - adalah pekerjaan administratif, di mana sekitar seperempat dari tugas-tugasnya sangat terpapar pada otomatisasi potensial.
Namun demikian, kebanyakan profesi lain, seperti manajer dan pekerja penjualan, hanya sedikit terpapar.
Baca Juga: Bukan Windows 11, Ini OS Windows yang Paling Banyak Dipakai di Dunia
Baca Juga: Kaspersky Bagikan Tips Menghindari Penipuan Deepfake Saat Pemilu
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR